Postlude 4: Kembali
"Udah lah, Ta, jangan dilihatnya terus .... Mau sampai kapan coba?" Gue mendesah, mendapati Hasta yang meski di hari pernikahannya ini, dia sempat-sempatnya memberi tatapan tajam pada Genta yang kini terlihat tengah mengobrol dengan Anggi. Lelaki itu kelihatan tengah memperkenalkan pacarnya pada orangtuanya yang juga datang ke pernikahan Hasta.
"Bisa-bisa malem pertama lo bukannya kepikiran Dhea malah kepikiran Genta," Lingga terkikik.
Hasta mendesah, dia tersenyum kecil saat Dhea sudah kembali dengan membawakan segelas air untuknya.
"Mau samperin?" tanya Dhea pada Hasta, merujuk pada Genta di sana.
"Iya, sana samperin. Gitu-gitu lo harus nyapa Tante Sinta sama Om Nuril," balas Sashi.
Setelah berusaha menenangkan diri beberapa kali lagi, Hasta akhirnya bangkit, bersama Dhea dengan balutan gaun pengantinnya, pasangan itu berjalan menuju meja di mana Genta bersama orangtuanya dan Anggi di sana. Dari arah meja gue bersama Sashi dan Lingga, gue bisa melihat wajah tegang Anggi setelahnya.
Walau sudah berjalan beberapa bulan, sepertinya perang dingin itu tak akan pernah selesai, dan akan selalu seru untuk gue dan Sashi bahas.
Pernah satu malam, kami berdua semalaman suntuk membicarakan dua orang itu. Yang benar-benar tak bisa ditebak alurnya. Ya ..., kehidupan memang tidak pernah ada yang tahu. Tapi siapa juga yang menyangka bahwa Genta akan berakhir memacari adik bungsu Hasta? Padahal dua lelaki itu kalau bertemu selalu saja punya sesuatu yang diributkan.
Gue dan Sashi terbahak-bahak saat kembali membahas bagaimana Hasta mengomel tiada henti saat pertama kali tahu adik bungsunya berpacaran dengan Genta.
"Dari banyak cowok, kenapa harus si sinting Genta?" Gue masih ingat, dia mengucapkan hal itu sambil berkacak pinggang, wajahnya memancarkan emosi dengan penuh.
Ketika itu Genta memang tak ada, tapi Ibam berhasil menyemprot Hasta dengan kalimat, "Emangnya kenapa sama Genta? Gue rasa, nggak ada yang salah."
"Bam, lo tuh—"
"Di antara lo bertiga," maksudnya Hasta, Genta, dan Lingga, "yang gue izinkan buat pacaran sama Vina atau Viona, jelas Genta. Genta masih yang terbaik daripada lo berdua."
"EMANGNYA KENAPA SAMA GUE!?" dua orang itu berteriak serentak, menatap tak terima.
"Ya ..., simple aja. Genta bisa menjamin adik gue makan enak dan tidur nyenyak tiap harinya. Dia punya pekerjaan oke, bisnis sendiri, bisnis orangtuanya. Anak tunggal yang harta warisannya udah pasti turun ke dia." Ibam menyungging senyum. "Dan kalau urusan perasaan ... kayaknya nggak perlu diragukan lagi. Iya, kan?"
"Iya, tapi kan ...." Hasta nggak bisa melanjutkan kalimatnya sendiri.
Karena ya ..., seperti kata Ibam, Genta memang masih menjadi urutan terbaik sebagai lelaki untuk dijadikan pacar atau suami. Nggak seburuk yang Hasta pikirkan. Mungkin. Gue juga mengakuinya.
Alasan mengapa Hasta begitu tantrum saat mengetahui Anggi berpacaran dengan Genta adalah karena dia tahu betul bagaimana sifat dan sikap keduanya, dan merasa mereka nggak mungkin cocok. Padahal, itu jelas di luar kuasanya. Toh, yang menjalankan hubungan tersebut tetaplah Anggi dan Genta, Hasta tak bisa ikut campur.
Gue juga pernah bahas ini sama Sashi. Kalau sebenarnya, Hasta tuh sudah menerima, mungkin sejak pertama tahu, sebab ... bukankah beruntung jika pacar dari adik yang disayang adalah orang yang lo kenal baik? Tapi kalau kata Sashi, "Hasta kebanyakan drama. Gengsi aja dia, padahal seneng tuh punya adik ipar Genta." Kemudian terkikik.
"Gue nggak sabar denger Genta manggil Hasta pakai abang. Secara mereka kan nanti jadi keluarga."
Lalu kami tertawa lagi.
Bisa dilihat bagaimana Tante Sinta saat bertemu dengan Anggi, matanya berbinar terang menatap perempuan itu, tangannya senantiasa mengelus punggung tangan Anggi, juga rambutnya. Menandakan bahwa sejak pertama pun Tante Sinta sudah suka dengan Anggi.
"Akhirnya gue bisa ke toko tanpa ditanya, "Mau nggak jadi menantu Tante, Shi?"," bisik Sashi.
Gue tertawa. Karena gue juga begitu kok. Kalau lagi mampir ke toko Genta, dan kebetulan ketemu Tante Sinta, beliau pasti memeluk gue dengan hangat, mencium gue, berbicara dengan lembut, lalu ujung-ujung bertanya, "Valerie nggak mau sama Genta, ya?"
Genta tuh kalau soal keluarganya memang perhatian banget, gue pernah atau mungkin akan selalu iri dengan kehangatan yang mereka punya. Beberapa kali dia menghubungi gue hanya untuk bertanya, "Val, sibuk nggak? Temenin nyokap gue ngobrol dong, kayaknya doi kesepian deh."
Sashi juga sering dihubungi. Makanya, gue adalah orang yang menyambut dengan bahagia saat Genta berpacaran dengan Anggi yang gue kenal ceria, punya jiwa sosial yang tinggi, yang pastinya akan membantu Genta keluar dari kehidupan antisosialnya dan akan dibimbing keluar dari jiwa-jiwa malasnya.
Tahu, kan? Meski gue kenal Sashi lebih dulu, Genta termasuk ke dalam orang yang nggak pernah gue sangka akan masuk ke kehidupan gue lebih dalam. Awalnya gue kenal dia sebagai fotografer biasa yang membantu gue melakukan pemotretan dengan barang-barang endorse, yang ketika itu memergoki gue merokok, yang ternyata kami punya kebiasaan yang sama; merokok diam-diam karena takut ketahuan. Bedanya, gue takut ketahuan manager gue, kalau Genta takut ketahuan orangtuanya yang kurang suka dia merokok.
Tapi kami sama. Sama-sama merokok untuk menghilangkan stres.
Saat gue berada di keadaan terpuruk setelah masalah dengan Alex, Genta datang sendirian ke apartemen gue, membawa satu kotak rokok dan pemantik.
berlanjut ke Karyakarsa ....
-
sudah bisa dibaca di akun karyakarsa aku yaaaa...
07/12/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Random[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...