Setiap malam, setiap cerita. Setiap suka, setiap duka. Setiap tangis, setiap tawa.
•••
Lingga tak pernah merasa benar-benar punya yang namanya 'teman' sebelum akhirnya bertemu dengan perempuan penepak bola kuning bernama Sashi Azkiyana. Perempuan yang ketika baru Lingga kenal selalu diikuti oleh pengasuhnya ke mana-mana, yang dengan sigap memberikan apa pun yang dia pinta, dan selalu membawakan tas serta perlengkapan lain untuk latihan. Perempuan yang Lingga kira sangat manja dan selalu merengek, justru tidak pernah terlihat begitu sekalipun sejak Lingga mengenal Sashi.
Di antara sekian banyak perbedaan yang keduanya miliki, yang kebanyakan seperti langit dan bumi, mereka punya satu kesamaan yang membuat siapa pun yang mendengar kisah mereka akan langsung menatap iba. Bahwa mereka tidak pernah sekalipun merasa mendapat kasih sayang yang sesungguhnya dari yang namanya keluarga.
Dulu Lingga punya sang nenek yang bisa menjadi penghibur di kala mamanya membuat dunianya seperti neraka. Sashi juga punya sang kakak, yang meski tidak pernah membelanya seperti yang diinginkan, setidaknya Arya Azkinaga tidak pernah menyuruh Sashi melakukan apa yang tidak ingin dia lakukan.
Sashi adalah orang pertama yang Lingga ceritakan tentang kehidupannya, asal-usulnya, dan siapa saja keluarganya. Sebelum akhirnya cerita itu merambat diketahui oleh keempat teman yang lain. Teman yang mematahkan ketakutan Lingga oleh pandangan sebelah mata karena tidak pernah mengenal seorang ayah dalam hidupnya. Teman yang tidak pernah memandang berbeda hanya karena lahir dalam situasi bak neraka.
Jika semesta mengutuknya karena lahir di keluarga yang tidak pernah bisa disebut keluarga, maka semesta juga memberkatinya dengan menghadirkan kelima teman yang sudah dianggapnya keluarga.
Suara gebukan punggung Hasta oleh tangan Lingga membuat Gentala dan Ibram yang tengah fokus pada laptopnya masing-masing menoleh serentak.
"Kenapa?" tanya Ibram.
Lingga menoleh ke arah dua teman yang duduk dengan tenang dengan dua meja kafe yang disatukan di hadapan keduanya. Gentala sedang mengedit foto, sementara Ibram sedang menyelesaikan desain pekerjaannya yang sudah mendekati tenggat. "Mabok nih bocah," jawabnya seraya meninggalkan Hasta yang masih jalan dengan susah payah padahal di bawah tadi Lingga sudah memaksanya minum banyak air agar cepat sadar dan menyeretnya ikut ke rooftop.
"Lo berdua habis dari bar? Bukannya Hasta tadi sama Dhea?" tanya Ibram lagi, memperhatikan Lingga yang mengambil dua kursi dari tumpukan yang rantainya terlepas—Ibram yang melepasnya.
"Ketemu di bawah tadi." Lingga meletakkan kantong plastik di atas meja. "Martabak telur," katanya.
"Wihh ..., tumben." Gentala menyerbu dengan semangat, membuka bungkusan itu dan mengambil satu potongnya, sebelum melemparkannya kembali ke tempat setelah menggigitnya sedikit. "Aish! Martabak dari kapan ini anjir? Udah dingin, minyaknya jadi banyak banget sial!"
Lingga membalas dengan tatapan tanpa minat, malas menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada martabak telur itu sebelum berada di atas meja saat ini. Dia hanya mengeluarkan bungkus rokok dari kantung celananya.
Ibram yang justru menatap dengan minat penasaran. Dia mengambil satu potong martabak telur tersebut dan menggigitnya. Gentala menatapnya serius, menanti pendapat. Berbeda dengan Gentala yang selesai setelah satu gigitan, Ibram justru melanjutkannya dengan gigitan kedua. Dia mengangkat bahu. "Masih enak, ah."
Gentala mendesah, memutar bola matanya.
"Ada korek nggak?" tanya Lingga pada kedua temannya. "Korek gue ke mana, ya? Ketinggalan apa ya di rumah," gumamnya sambil meraba saku celananya, mencari pematik api yang biasanya selalu ada bersama bungkus rokoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Random[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...