[EPISODE 4] - Home

1.3K 232 18
                                    

Terkadang, datang ke rumah bukan berarti untuk pulang. Karena untuk sebagian orang, rumah bukan tempat menyenangkan untuk pulang.

•••

Dalam hidupnya, Sashi mengenal dua orang laki-laki yang menjadikan rumah utama sebagai tempat pulang nomor dua. Yang pertama, kakaknya yang bernama Arya Azkinaga, seorang dokter yang menjadikan rumah sakit seperti rumah pertamanya karena lebih sering tidur di rumah sakit dibandingkan di kamar sendiri. Yang kedua, teman lima belas tahunnya, bernama Lingga Juana Alva yang semenjak buka usaha kafe dan ada Ruang Kosong di dalamnya, Lingga lebih sering tidur di sana daripada pulang ke rumahnya yang tak lain peninggalan neneknya.

Rumah itu sederhana, hanya terdiri dari dua kamar tidur berukuran 3x3, ruang tamu dan ruang keluarga menyatu, tidak ada ruang makan, dapur seadanya, dan kamar mandi yang hanya selebar rentangan kedua tangan. Berkali-kali lipat jauh lebih kecil daripada rumah Sashi. 

Lingga bukan tidak nyaman di rumahnya sampai memutuskan untuk jarang pulang, tapi ada alasan lain yang membuatnya jauh lebih tenang jika tidak ada di rumah. Rumah akan jadi sangat menyenangkan jika hanya Lingga yang tinggal, sayangnya, sang mama masih akan pulang, dan waktunya tidak bisa Lingga tebak.

"Mi," Lingga berbicara pada seorang pegawai kafe yang berada di balik konter pembayaran, "kalau Ibam nanti ke sini, terus nanyain saya, bilang aja saya pulang dulu, nanti ke sini lagi."

"Iya, Mas." Ami mengangguk. "Mas Ibam mau ke sini?"

"Nggak tahu, sih. Tadi dia nanyain saya lagi di kafe atau nggak, terus nggak ngomong apa-apa lagi, kayaknya mau ke sini, jelas Lingga mengenai percakapannya dengan Ibram beberapa saat lalu. "Nanti kalau dia dateng terus saya belum balik, kamu kasih tahu aja soal mesin kasir itu, paling bakal diganti sama yang baru, cuma ya selama beberapa hari ke depan manual dulu aja, ya."

"Iya, Mas, nggak apa-apa." Ami membalas senyum Lingga.

"Kalau gitu, saya duluan, ya."

Dalam perjalanan pulang ke rumahnya setelah seminggu terus tidur di kafe, Lingga berpikir untuk istirahat sejenak, menyalakan televisi yang dia sendiri tidak tahu apa masih bisa menyala atau tidak, memasak mi instan dengan kompor gas yang mudah-mudahan masih bisa berfungsi dengan baik dan gasnya masih ada karena dia sendiri lupa kapan terakhir kali mengisi ulang gas, membereskan rumah, menyingkirkan segala debu, atau mungkin kalau kelelahan, Lingga akan berencana tidak kembali ke kafe dan memilih tidur di kamarnya malam ini.

Dia sudah membayangkan betapa menenangkannya sisa harinya sebelum terlelap. Lingga bahkan menyempatkan diri untuk mampir ke minimarket, membeli segala hal yang diperlukan nanti, mulai dari cairan pembersih lantai sampai mi instan yang akan dia pegang terakhir ketika sampai rumah, setelah selesai membereskan segala hal. Dia juga membeli seporsi martabak telur yang akan dinikmati sesampainya di rumah, yang akan menjadi camilannya ketika memegang kerjaan nanti.

Lalu perlahan semua bayangan kesenangan itu menguap sesaat setelah Lingga memarkirkan motornya di halaman rumah dan mendapati pintu itu terbuka sedikit, dan sepasang sepatu hak tinggi tergeletak tak beraturan di depannya. Lingga tahu siapa yang membuat pintunya terbuka, Lingga juga tahu pemilik sepatu itu.

Dan seharusnya begitu sadar akan hal itu, Lingga memilih menyalakan kembali mesin motornya dan kembali ke kafe secepat kilat sebelum akhirnya pintu itu terbuka dengan lebar oleh seseorang dari dalam dan perasaan Lingga kacau seluruhnya.

"Dari mana aja lo?" tanya perempuan itu. Tanpa menyapa, menanyakan kabar selayaknya dua orang yang baru bertemu lagi setelah sekian lama, Mira Sukma langsung menodong Lingga dengan pertanyaan yang seolah memojokkan. "Nggak pulang berapa hari lo? Rumah bukannya diurus malah ditinggal-tinggal nggak jelas."

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang