Alasan utama Ibram menyuruh Riang untuk ikut, tidak lain adalah untuk menyuruh perempuan itu menyetir. Dan sebelum dia duduk di kursinya, Riang sudah bisa menebak bahwa yang akan mengendalikan kemudi adalah dirinya melihat Gentala yang langsung masuk ke kursi penumpang belakang.
"Gimana kerja sama Val? Enak nggak?" tanya Ibram setelah mobilnya melaju di jalanan. "Val galak nggak sama lo?"
"Kak Val nggak pernah marah-marah," jawab Riang. "Emangnya Mas Ibam pernah lihat Kak Val marah?"
"Lo pernah, Ta?" Ibram melirik ke arah belakang, di mana Gentala sedang memjamkan matanya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.
Gentala terkekeh. "Kalau nangis sering."
"Kak Val sering nangis?"
"Nggak pernah lihat Val nangis?" Ibram seperti tidak percaya dengan yang Riang katakan.
Riang menggeleng bingung. "Pernahnya kalau lagi akting aja."
"Ya udah, lebih baik nggak usah," balas Ibram.
"Emang kenapa?"
Karena tangisnya Valerie di hadapan teman-temannya merupakan tangis rasa lelahnya, rasa muaknya, rasa jenuhnya, juga rasa bangganya. Dan tangis itu tidak pernah sekalipun Valerie tunjukan selain pada kelima teman-temannya. Tidak pada Riang, apalagi Bobi yang lebih sering bersama dirinya nyaris setiap hari. Tidak juga pada kedua orangtuanya yang entah hari ini sedang apa dan di mana.
Riang menunggu jawaban, namun begitu dia menoleh ke samping dan melirik ke belakang lewat kaca spion, tidak ada satu pun di antara kedua cowok yang berada di dalam mobilnya bersamanya untuk menjawab. Riang akhirnya hanya mendesah sebelum menanyakan suatu hal yang sejujurnya sudah membuatnya penasaran tapi tidak pernah berani untuk bertanya pada orangnya secara langsung.
"Kak Val tuh ... gimana sih sama pacarnya?" tanya perempuan itu dengan nada yang ragu. Dia kembali melirik pada dua tempat, memeriksa ekspresi Ibram dan Gentala setelah mendengar pertanyaanya. Dia agak takut juga. "Gue nggak bermaksud buat ikut campur, cuma kayaknya akhir-akhir ini hubungan mereka kurang baik. Setiap habis ketemu, ekspresi Kak Val kayak yang ... gimana ya jelasinnya? Sedih sama marah gitu. Kadang juga kalau Kak Alex ngajak ketemu, gue suka disuruh ngasih tahu kalau Kak Val lagi sibuk dan nggak bisa diganggu, padahal kadang Kak Val nggak lagi ngapa-ngapain. Terus Kak Alex kayak yang kesel gitu."
Beberapa detik setelah Riang menceritakan keresahannya pada dua orang yang ekspresinya begitu datar saat mendengarkan, hanya ada diam yang melingkupi seluruh mobil. Riang gugup, merasa sepertinya dia salah telah bertanya demikian.
"Nggak usah ikut campur sama hubungan orang lain," Ibram akhirnya membalas dengan nada yang dingin, membuat Riang semakin merasa bersalah, membuat Riang bertanya-tanya dan berusaha menebak maksud ucapan Ibram barusan. Apa jawaban itu bermaksud bahwa mereka tahu sesuatu tapi menyuruh Riang untuk tidak ikut campur seperti yang diucapkan, atau justru mereka juga tidak tahu karena mereka memang tidak pernah mengikuticampuri hubungan Valerie dengan Alex, makanya meminta Riang untuk melakukan hal yang sama dengan yang mereka lakukan.
Riang membuang napas panjang. "Sorry ...."
"Lo punya pacar nggak, Yang?" tanya Ibram tiba-tiba. Kali ini pun tidak berusaha mengubah potongan nama Riang walaupun terdengar ambigu, meski ketika mereka ke minimarket sebelumnya, Ibram sempat protes, "Nama lo kenapa harus Riang, sih?"
"Biar ... jadi periang?" Riang meringis ketika menjawab pertanyaan itu.
Ibram menyentil pelan kening Riang. "Periang dari Hongkong!?"
Dan Riang masih belum terbiasa dipanggil 'Yang' oleh Ibram. Padahal hampir semua orang memanggilnya dengan potongana nama begitu. Untuk orang-orang yang merasa aneh, mereka memilih memotongnya jadi 'Ri'. Namun Ibram tidak begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Random[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...