"Abang nggak pernah nangis. Dari awal. Dari Ibu masuk rumah sakit, Abang nggak nangis. Bahkan pas Ibu kritis, Abang satu-satunya yang nggak nangis. Abang sibuk nenangin Bapak, nenangin Kak Hesti, Bang Angga, nenangin aku. Abang sibuk nguatin semua orang.
"Sampai akhirnya dokter bilang kalau Ibu pergi, aku nggak ngelihat satu tetes pun air mata yang Abang keluarin. Aku pikir, Abang kuat banget karena nggak sedih kehilangan Ibu, tapi setelah ngelihat dia nangis kayak tadi pas dipeluk Kak Valerie, ternyata Abang bukan orang kuat, Abang cuma pura-pura kuat. Abang cuma pengin di antara kami yang sedih karena kehilangan, ada satu orang yang nenangin dan nguatin. Padahal … Abang lebih butuh itu."
Anggi menatap Gentala dengan mata basahnya saat menceritakan bagaimana Hasta menghadapi segalanya selama ini.
Hasta Nugraha, yang Anggi pikir punya pundak begitu kuat, punya sabar sebegitu luas, ternyata tetap manusia biasa, tetap seorang anak yang merasakan amat kehilangan ketika ibu dijemput Sang Pencipta.
Hasta begitu saja luruh dalam dekapan Valerie. Tembok kokohnya hancur ketika perempuan itu memeluknya, membawanya ke tempat di mana seketika dia menumpahkan air matanya. Tangisannya yang selama berminggu-minggu ditahan, tumpah hanya dengan sekali sentuhan dan satu kalimat pendek.
"Ta, gue sama anak-anak dateng," Valerie berucap begitu lirih.
Dan ketika itu pertahanan seorang Hasta Nugraha seketika melemah, runtuh tanpa hitungan detik.
Di hadapan adik-adiknya, Hasta hanya ingin jadi seorang kakak yang menunjukkan bahwa mereka semua bisa melewati semuanya seperti dia dengan begitu tegar. Di hadapan bapaknya, Hasta hanya ingin jadi seorang anak pertama yang bisa diandalkan, yang menguatkan siapa saja yang merasa rapuh karena kepergian sang ibu.
Tapi di hadapan teman-temannya. Hasta hanyalah Hasta. Tidak peduli dia menginginkan jadi seorang yang tak merepotkan teman lainnya, dia akan tetap jadi Hasta Nugraha. Sebab terkadang, untuk menjadi seorang teman tak butuh apa-apa, hanya butuh menjadi diri sendiri.
Hasta jatuh, kakinya melemas, seolah tanpa kata sedang berucap bahwa begitulah dia sekarang setelah teman-temannya datang. Beban yang dipikulnya, perasaan yang menerkamnya untuk tetap menjadi kuat, perlahan menghilang terbawa tetesan demi tetesan air yang keluar dari mata.
Dadanya sesak. Sesak sekali sampai rasanya tak banyak oksigen yang tersisa untuknya. Hasta berusaha menumpahkan begitu banyak perasaannya dalam satu waktu. Kesedihan, rasa kehilangan, rasa bersalah. Semuanya selama ini bergerumul dalam dadanya, menumpuk sampai dia sendiri tak begitu mengenali perasaan macam apa yang kini tengah dirasakannya.
Tak ada kata yang bisa dia ucapkan, tenaganya untuk mengeluarkan suara seolah habis karena terlalu lama menanggung beban. Dan menyaksikan bagaimana sang kakak begitu terisak dalam tangisannya membuat Hesti yang ada di sana kembali merasakan kesedihan yang dua kali lipat lebih besar dari hari pertama.
"Abang …, ada bikin salah ya sama Bang Genta dan temen-temen yang lain?" Anggi kembali menoleh pada Gentala yang menghampirinya di teras rumah ketika suasana perlahan membaik. Hasta sempat kehilangan kesadarannya, tapi kini sudah bisa menjamu teman-temannya yang datang.
"Menurut lo begitu?"
Anggi mengangguk ragu. "Soalnya aku curiga waktu nggak ada satu pun dari temen-temen Abang dateng buat jenguk Ibu atau dateng di hari pertama Ibu pergi. Maaf …."
"Kenapa minta maaf?"
"Karena udah curiga."
Gentala terkekeh kecil. "Tapi lo nggak salah kok. Kami emang sempet … ya … biasalah, ada masalah kecil."
"Oh …." Anggi menunduk. "Kalau gitu, aku tetep minta maaf juga."
"Untuk?"
"Kesalahan apa pun yang dibuat sama Abang Hasta. Aku minta maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Random[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...