Postlude 6: Cincin
Ada satu izin dan kesepakatan yang gue buat dengan papanya Sashi ketika gue datang menemuinya di rumah sakit untuk meminta izin mengajak Sashi liburan demi bisa memenuhi permintaan ulang tahun perempuan itu.
Berlibur bersama memang diluar rencana gue—bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh gue untuk bisa berlibur berdua bersama Sashi sampai menginap begitu, kalaupun iya, pasti nggak benar-benar berdua, keempat teman aneh gue itu juga pasti ikut.
Tapi ini berdua.
Dan jujur saja, meski itu agak diluar dugaan, gue senang sih. Ya ..., namanya juga liburan berdua sama pacar, nggak mungkin gue datar-datar aja, kan? Mungkin itu nggak waras.
Cuma masalahnya, karena gue harus minta izin langsung pada Om Lukman, gue jadi agak gila sedikit. Walau beliau ini sudah memberi lampu hijau pada hubungan gue dengan Sashi, dan kami sudah sering main catur bersama, gue tatap belum bisa terbiasa mengobrol dengan Om Lukman. Bawaannya entah kenapa selalu takut. Iya, takut salah kata dan salah tingkah yang nantinya berpengaruh pada hubungan gue dan Sashi. Kan serem.
Terus ini malah gue disuruh minta izin buat bisa bawa anak perempuannya liburan berdua sama gue—lebih tepatnya, memenuhi keinginan anak perempuannya yang agak bikin jantungan ini untuk liburan bersama.
Tapi sebagai janji gue pada orangtua Sashi, juga pada Sashi itu sendiri, dan karena perasaan gue pada Sashi, gue tentu memberanikan diri untuk menemui Om Lukman di rumah sakit tempatnya bekerja.
Bayangkan! Dulu gue pernah hampir mau ditabok sama Om Lukman di rumah sakit ini gara-gara melukai Sashi, sekarang gue datang lagi ke sana untuk minta izin mengajak anaknya pergi. Gue cuma berharap Om Lukmah nggak lagi pegang pisau bedah saat menemui gue.
Ya ..., beruntung, begitu gue masuk ke ruangannya, beliau sedang duduk di kursinya, menatap layar monitor dengan begitu serius, sebelum melepas kacamata bacanya dan berdiri dari sana saat gue masuk bersama Sashi.
"Oh, kamu sudah pulang?" tanyanya setelah mempersilakan gue untuk duduk di sofa.
"Iya, Om, baru aja."
Dia mengangguk singkat, lalu menatap Sashi. "Kamu keluar dulu sana, Papa mau bicara berdua sama Lingga."
Mampus! Mau diapain gue!?
Sashi sempat merengek menolak, meski akhirnya dia tetap menurut meninggalkan gue bersama papanya di sana. Satu hal yang bikin rangkaian kalimat yang sudah gue susun sebelum datang ke sana buyar seketika.
"Sashi ngajak kamu liburan?"
Oke, nggak ada basa-basi. Gue paham, Om Lukman orang sibuk. Dia hanya menaruh sebotol air mineral ke hadapan gue tanpa bertanya, dan langsung menodong gue dengan pertanyaan itu.
Gue menelan ludah. "Iya, Om."
"Apa rencana kamu?"
Jujur, nggak ada rencana. Satu-satunya rencana yang gue pikirkan saat Sashi mengatakan ingin berlibur berdua bersama gue sebagai permintaan hadiah ulang tahunnya, adalah tidur berdua dengannya. Tapi nggak mungkin gue bilang itu pada Om Lukman, kan? Mungkin pot bunga yang terbuat dari keramik di atas meja itu bisa langsung melayang ke kepala gue.
"Saya ... belum ada rencana apa-apa, Om."
"Jujur saja, saya nggak setuju kalian berdua pergi. Saya rasa nggak ada orangtua mana pun yang setuju anaknya dibawa pergi sama seorang laki-laki yang bukan suaminya, apalagi sampai menginap."
Gue menunduk. "Kalau gitu, saya akan bilang sama Sashi, Om."
Om Lukman berdecih, membuat gue agak terkejut. "Cuma sampai sini aja perjuangan kamu buat bahagiain Sashi? Mana janji kamu yang bilang katanya mau mengikuti semua yang Sashi inginkan selagi itu bikin dia bahagia?"
Gue agak tercengang. Otak gue semakin kosong untuk menjawab kalimat yang dilontarkan Om Lukman. "Tapi, tadi Om—"
"Saya bisa aja kasih izin kalau kamu mau usaha merayu saya. Padahal kamu hebat banget dulu merangkai kata di depan saya waktu minta izin macarin Sashi. Jadi, usahanya cuma sampai di sana saja? Nggak ada usaha untuk mempertahankan hubungan?"
Kalimat itu menusuk gue. Seperti tangan yang baru saja menampar pipi gue kanan dan kiri, seperti sebilah pisau yang menusuk tepat di ulu hati.
Tapi sayangnya, saat itu gue benar-benar nggak bisa berpikir apa-apa selain satu rencana masa depan yang rasanya terlalu dini jika gue ungkapkan saat itu. Pun rasanya kalimat nyangkut di kerongkongan, bikin gue kehilangan suara untuk mengatakan hal lain.
"Ya sudah, sana pulang. Lebih baik pikirkan cara gimana bikin Sashi nggak ngambek dan marah karena nggak saya kasih izin dan kamu nggak mau berusaha bujuk saya." Om Lukman bangkit dari tempat duduk, dan gue beranjak dari sana.
Satu langkah.
Dua langkah.
Sampai tangan gue memegang gagang pintu, saat itu tamparan itu kembali terasa. Seolah mengatakan bahwa gue nggak akan pernah bisa mengulang waktu kalau gue menyia-siakan kesempatan ini. Bahwa bisa saja gue nggak akan pernah dapat kesempatan semacam ini lagi di lain waktu.
Maka dari itu, gue berbalik tepat sebelum tangan gue menekan gagang pintu, menatap kembali Om Lukman yang sudah berpindah duduk di kursi di balik meja kerjanya, menatap gue datar.
"Ada apa?" tanyanya dingin.
"Izinkan saya menikah dengan Sashi." Kalimat itu akhirnya keluar dengan sendirinya, begitu lugas, begitu tegas, tanpa gue rencanakan, tapi sampai detik kesekian pun gue nggak menyesalinya. Seperti yang gue katakan, gue takut tak pernah punya kesempatan untuk mengatakan hal ini nantinya.
berlanjut ke Karyakarsa ....
-
udah bisa kalian baca di akun karyakarsa aku. dan bisa dibeli dengan harga satuan atau paket semua part postlude, ya....
13/12/23
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kosong
Acak[SELESAI] Ruang Kosong mungkin hanya sekadar tempat mereka berenam biasa berkumpul. Tempat Lingga lebih sering tidur malam daripada di rumahnya sendiri. Tempat Sashi menghabiskan waktu untuk menulis ribuan kata untuk novelnya. Tempat Ibram beristira...