[EPISODE 23] - Make a Wish

1.1K 214 17
                                    

Lingga pertama kali bertemu Sashi lima belas tahun lalu, dari tubuhnya masih kurus kering, dekil, kusam seperti anak kekurangan gizi yang tidak pernah diurus oleh keluarganya, sampai kini tubuhnya begitu sehat dengan otot-otot yang bagus dan kulit yang begitu terawat meski setiap hari mainannya oli kendaraan.

Pertama kali Lingga bertemu Sashi, tubuhnya pendek, agaknya hanya sebatas telinga Sashi saat itu. Sampai satu hari di ulang tahun Lingga yang ke tujuh belas, Sashi berujar dengan agak sebal, "Sejak kapan lo berubah jadi tinggi gini?" Perempuan itu kini hanya sebahu Lingga, saat itu dia kesulitan memakaikan topi kerucut ke kepala Lingga sebagai properti ulang tahun yang mereka rayakan berdua di kedai Petok Chicken saat jam pelajaran sekolah masih berlangsung—mereka bolos untuk bisa melakukan hal itu.

"Sejak kapan juga lo berhenti tumbuh?" Lingga membalas, membenarkan topi kerucutnya yang bagian tali karetnya sedikit mencekiknya di leher.

Sashi berdecih, membuat lelaki itu terkekeh.

"Gue bisa dibunuh orangtua lo kalau tahu anaknya bolos lagi sama gue." Lingga masih ingat terakhir kali Sashi ketahuan membalas sekolah untuk menonton film di bioskop, dan saat itu Dewi mendatanginya, menyuruhnya untuk menjauhi anak perempuannya, menganggap Lingga membawa pengaruh buruk untuk Sashi, walaupun Sashi yang juga dilarang untuk berteman dengan Lingga juga tetap berakhir menempel pada lelaki itu. Dia bahkan tidak ragu untuk menemui Lingga lebih dulu, dan mengancam Lingga karena mengabaikannya.

"Nggak bakal. Kan gue yang ngajak."

"Emangnya kapan gue ngajak lo bolos?"

Tangan Sashi yang sedang menyalakan lilin di atas sebuah kue berhenti bergerak, mendongak untuk menatap tajam ke arah Lingga di depannya. Karena memang yang selalu mengumandangkan ide untuk bolos adalah Sashi. Perempuan itu akan memulai dengan, "Capek deh, pengin jalan-jalan. Gue latihan sampai malem kemarin. Pengin es krim."

Dan Sashi akan merengek seharian jika Lingga menolak. Jurus andalannya seketika akan keluar, "Ya udah, gue sendirian aja. Kalau gue diculik, itu semua salah lo." Sashi tahu kalau Lingga tidak akan pernah meninggalkannya sendirian.

Hari ini pun begitu, dia tidak akan meninggalkan Sashi sendirian. Entah sebagai seorang lelaki sejati atau sebagai teman lima belas tahun, Lingga tidak akan meninggalkan Sashi. Dia memeluk, mengusap dengan lembut, menggendongnya sambil berlari, membiarkan bajunya penuh tetesan darah demi membawa Sashi dengan cepat ke rumah sakit.

"Jangan tidur," gumam Lingga. Dia berada di kursi belakang sementara Ibram menyetir dan Gentala berada di sebelahnya—Hasta tidak ada, lelaki itu tidur karena mabuk dan belum mengetahui apa yang terjadi pada sahabatnya.

"Kepala gue sakit."

"Maafin gue …. Gue minta maaf." Lingga menangis. Betapa terkejutnya Gentala ketika keluar dan sudah mendapati Lingga memeluk Sashi yang kepalanya sudah berlumuran darah. Dia tidak bertanya ada apa, hanya bergegas kembali ke Ruang Kosong, membangunkan Ibram yang baru akan tertidur, dan menyeretnya untuk menyetir.

Sashi datang ke parkiran tidak sengaja. Dia hanya akan toilet, tapi suara jeritan Valerie di luar kafe mengundangnya untuk menghampiri. Dan Gentala keluar untuk menghampiri Lingga, bergabung untuk merokok bersama. Lalu semuanya terjadi seperti sekejap mata sampai mereka kini berada di mobil, mengebut demi bisa ke rumah sakit secepatnya.

"Val …," lirih Sashi. "Kita harus lapor polisi. Kita harus telepon managernya."

Kalimat itu berhasil membuat Gentala dan Ibram melirik ke arah belakang. Mereka tidak mengungkapkannya, namun mereka tetap bertanya-tanya, bukan hanya tentang apa yang terjadi pada Sashi, tapi juga keberadaan Valerie yang tidak ada bersama keduanya.

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang