[EPISODE 30] - Like We Just Met

1.2K 200 26
                                    

Ditemani Riang, Ibram, dan Gentala, Valerie kembali ke apartemennya setelah sekian lama. Entah berapa lama, tapi dia merasakan sudah sangat lama. Berpindah-pindah tempat beberapa kali seperti seseorang yang dikejar debt collector karena tidak membayar tagihan berbulan-bulan lamanya. 

Setelah di rumah Asmara, dia pindah ke apartemen Felia yang sejujurnya begitu nyaman karena Felia punya sifat yang menyenangkan, tapi hubungannya dengan Sashi yang entah bagaimana ceritanya tiba-tiba merasa canggung, membuat Valerie merasa tak enak jika terus tinggal di apartemen calon kakak ipar Sashi, hingga membuatnya terpaksa menginap di hotel berbintang dengan sistem keamanan yang cukup ketat. Tak hanya di satu hotel, Valerie dan Riang pindah sampai ke tiga hotel.

Bagi Valerie, Riang bukan hanya sekadar asisten pribadinya. Dia merekrut perempuan yang satu tahun lebih muda darinya itu memang semata bukan hanya untuk mengurus keperluan pribadinya dalam hal pekerjaan, tapi juga sebagai teman. 

Riang dulu bekerja sebagai pegawai biasa di perusahaan management tempatnya bernaung. Valerie melihat bagaimana Riang saat itu dibentak, dicaci, dimarahi karena hasil kerjanya yang tak pernah sesuai keinginan atasannya. Hingga satu hari mereka bertemu di toilet--saat itu Riang tidak tahu Valerie ada karena dia masuk lebih dulu. Valerie mendengar suara tangisan dari salah satu bilik di sana, dan sengaja berlama-lama di depan wastafel hanya untuk menunggu perempuan itu keluar dan bertemu dengannya.

"Siang, Kak," sapa Riang dengan panik saat melihat Valerie ada di toilet yang sama dengannya. Dan bertanya-tanya apa mungkin Valerie mendengarnya menangis tadi.

"Hai," Valerie balas menyapa. "Nggak makan siang sama yang lain?"

"Oh ... itu .... Habis ini mau ke kantin kok."

Valerie tersenyum. "Mau makan siang bareng gue nggak?" tawarnya tiba-tiba.

Mata Riang membulat, dia langsung mengibaskan tangan. "Hah? Nggak usah, Kak. Nggak usah. Gue nanti makan sama yang lain aja."

"Oke." Valerie sudah tahu bagaimana responsnya, jadi dia tidak memaksa. "Sebagai gantinya, gue boleh minta kartu nama lo nggak?"

"Buat apa, Kak?" Saat itu Riang merasa bersalah bertanya begitu karena seharusnya dia langsung memberikan tanpa perlu bertanya untuk apa, sebab ini Valerie Misora yang meminta.

"Buat .... Buat apa, ya? Ada deh pokoknya."

Dengan masih bertanya-tanya, Riang merogoh dompetnya untuk mengeluarkan kartu namanya dan memberikannya pada Valerie.

"Riang Nuri Utami," gumam Valerie, membaca nama lengkap Riang di sana. "Berapa gaji lo sebulan?"

"Hah?"

"Oke, nggak penting," katanya, lalu nyengir. "Tapi, lo mau jadi asisten gue nggak?"

"Hah?"

"Kenapa hah mulu, sih?"

"Soalnya ... eum ... bingung ...."

Valerie tertawa. "Gue lagi nyari asisten pribadi, lo mau nggak? Lo boleh nego gaji kok sama gue."

Riang tak tahu harus merespons apa, dia diam tak menjawab.

"Gue tunggu jawaban lo seminggu, ya. Nggak usah ajuin resign. Lo pikirin aja mateng-mateng tawaran gue, kalau lo mau, biar gue yang ngomong sama atasan lo." Valerie tersenyum. "Oh, gue udah ditungguin." Lalu dia menunjukkan layar ponselnya yang sedang bergetar panjang tanda panggilan masuk, dari managernya.

"Eum ..., Kak," Riang membuat Valerie yang sudah akan melangkah keluar dari toilet, berhenti dan kembali berbalik. "Gimana gue harus ngehubungin lo-nya?" dia bertanya ragu. Pertanyaan yang membuat senyum Valerie kembali mengembang sempurna.

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang