3. The Patch

437 65 6
                                    

Dalam situasi seperti ini, jiwa protective Marc secara naluriah kembali menguasainya. Saat Steven menawarkan diri untuk membantu mencari tahu tentang apa yang sedang terjadi, Marc dengan tegas memintanya untuk tidak ikut campur. Ia tak mau melibatkan Steven dalam masalah ini. Ia menganggap dirinya cukup mampu untuk menyelidiki semuanya sendirian.

"Ayolah Marc, kita berdua tahu kau tidak pandai dalam hal ini. Satu-satunya bakatmu adalah dengan menggunakan kekerasan," Steven mengoceh dari ruang pandang. Marc mengabaikannya. Saat ini ia sedang berjalan menelusuri komplek pemukiman yang sepi dan sunyi, mencari-cari sebuah gedung atau setidaknya rumah yang memiliki nomor 409. Keberadaannya di sana saat ini merupakan hasil dari kerja kerasnya mencari hal-hal tersembunyi di dalam flat. Ia dulu pernah menyembunyikan banyak hal dari Steven dengan rapi, sehingga ia tak bisa diremehkan dalam bermain petak umpet. Memang butuh waktu hampir 10 jam bagi Marc untuk menemukan sebuah kunci rumah, lengkap dengan gantungan yang bertulisan alamat, yang disembunyikan di dalam akuarium Gus dan Dus, ikan peliharaan Marc dan Steven. Selama ini, kunci itu disembunyikan dengan rapi di dalam sana sampai-sampai Marc dan Steven tidak pernah menyadarinya meskipun mereka kerap kali berinteraksi dengan kedua ikan mas itu. Apapun yang terjadi, orang yang menyembunyikan kunci itu pasti terburu-buru sekali tadi malam, sehingga peletakan kuncinya tidak serapi biasanya, sampai-sampai Marc bisa menemukannya.

"Oy, Marc!" Steven kehilangan kesabarannya.

"Shhhhh...," Marc mulai emosi. "Jangan rewel Steven, sebaiknya kau tidur saja sana."

"Oh, kau ingin aku meninggalkanmu, yeah?"

"Aku tak butuh kau untuk saat ini."

Dari dalam Headspace, Steven merasa terhina. ia melongo untuk sesaat, sebelum akhirnya mendengus kesal dan beranjak pergi. Marc tidak lagi merasakan kehadirannya.

Setelah memasuki kamarnya di Headspace, Steven meluapkan emosinya dengan membanting buku-buku fana yang tertumpuk di meja, kemudian menggerutu kesal seperti mahasiswa semester akhir yang sudah muak dengan urusan skripsi. Wajar jika ia kesal, karena Marc masih saja menganggapnya remeh, bahkan setelah aksi memukau yang dilakukannya ketika menghadapi Harrow dan para pengikutnya di Kairo. Ini pertama kalinya ia merasa tersinggung dengan tingkah Marc yang terlalu overprotective itu.

Di tengah-tengah kemarahannya, Steven tiba-tiba menangkap ada sesuatu yang janggal pada salah satu dinding kamarnya. Ia melihat ada retakan kecil pada dinding yang ada di samping rak bukunya. Steven mendekatinya, kemudian mendapati bahwa rak itu bekas digeser maju. Apapun itu, yang pasti seseorang telah berusaha untuk menutupi aksinya, tapi dengan cara yang ceroboh. Namun Steven menganggap ceroboh bukan kata yang tepat. 'Terburu-buru' terdengar jauh lebih sesuai.

Steven segera menggeser rak itu mengikuti pola gesekan kaki rak pada keramik. Setelah itu, ia celingak-celinguk. Tak ada lagi hal aneh yang bisa ia temukan selain retakan yang ada pada dinding. Namun setelah dilihat lebih teliti, retakan itu ternyata bukan retakan, melainkan sebuah tambalan yang dibuat serapi mungkin agar menyatu dengan dinding. Ketika Steven memasukkan tangannya ke dalam lubang tambalan itu, ia menemukan sebuah tombol yang ketika dipencet akan mengeluarkan suara klik, diikuti dengan terjadinya pemotongan yang rapi pada dinding di depannya dari atas hingga ke bawah. Steven terkesiap, itu sebuah pintu geser. Ketika pintu itu terbuka lebar, yang ada di hadapan Steven cuma gelap. Ia segera memanggil Marc.

"Marc... aku menemukan sesuatu di sini."

"Apa maksudmu sesuatu?" tanya Marc dari luar. Steven bisa mendengar ada suara kunci diputar dan pintu terbuka. Marc pasti sudah berhasil menemukan rumah itu sekarang.

"Ada pintu rahasia di dinding kamarku."

"Apa katamu?!" Marc tentu kaget. Steven bisa merasakan kalau Marc tengah menghentikan langkahnya.

"Ini menjadi masuk akal mengapa jarak kamar kita lumayan jauh. Ternyata ada ruangan rahasia di antara kamar kita," Steven terpana sekaligus merasa bodoh. "Mengapa kita tidak pernah terpikir soal itu selama ini?"

"Steven, kau tunggu di sana. Aku akan mengeceknya nanti setelah aku selesai dengan yang di sini," kata Marc.

"Tidak-tidak," jawab Steven, spontan. "Kau urus saja yang di sana, biar aku menangani yang di sini."

"Jangan! Kau tak tahu apa yang ada di dalam sana. Tunggu aku saja."

Steven sudah merasa muak dengan sifat Marc yang terlalu berlebihan. Tanpa pikir panjang, ia segera melangkah memasuki ruangan gelap itu, mengabaikan perintah Marc yang menyebalkan bagai angin lalu. Marc bisa mendengar langkah kaki Steven. Ia langsung tahu kalau anak itu tidak mendengarkan kata-katanya.

"Steven, aku peringatkan kau untuk tidak masuk ke sana. Aku tak akan memintamu dua kali...."

"Urus saja urusanmu sendiri Marc. Dasar cerewet!"

Sambil melangkah masuk dengan hati-hati, Steven mencoba meraba-raba dinding yang ada di balik pintu itu, sampai jari-jari tangannya akhirnya menabrak sesuatu yang ia yakini adalah tombol saklar. Sesaat setelah Steven menekan tombol saklar, ruangan itu seketika terang benderang. Selanjutnya, tak sampai dua detik sampai Steven berteriak kaget karena seorang pria yang mirip dirinya tiba-tiba berdiri tepat di hadapannya sambil menodongkan sebuah pistol ke dahinya.

"Tak bisa mengetuk dulu, kawan?" pria tersebut menyeringai bengis. Aura membunuhnya sangat kuat. Steven merasakan kakinya kehilangan kemampuan untuk menopang tubuhnya.

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang