Malam melintang di atas kota London yang gemilang. Bintang-bintang membedaki langit. Cahaya bulan menyelimuti kota, membangunkan pesona kastil-kastil yang menjulang tinggi di antara banyaknya cerobong asap. Udara pengap. Temperatur sedang panas-panasnya. Jake harus meregangkan dasinya, menanggalkan jaket leathernya, dan melempar topi baretnya ke kursi penumpang. Jika ia tak sampai di flat dalam waktu 5 menit, ia yakin ia akan mati terpanggang di dalam limosinnya.
Jake terkadang mengeluh dengan idenya sendiri. Menjadi supir taksi dalam keadaan seperti sekarang ini bukanlah ide yang bagus. Selain ada bahaya di mana-mana, ia juga kadang tak tahan dengan sikap penumpangnya belakangan ini. Tapi mau bagaimana lagi. Ia tak mau cuma hidup dari uang hasil kerja keras Marc. Apa kata Steven nanti? Jake tak mau pria pujaannya mencampakkannya suatu hari nanti hanya karena ia pengangguran.
Namun nampaknya, keputusan Jake untuk mencari penghasilan tambahan rupanya memprovokasi Marc. Ia juga ikut-ikutan mencari kerja untuk menarik perhatian Steven. Bokong Amerikanya memang tak suka kalah. Jake begitu kesal karena Marc selalu menyainginya dalam segala hal.
Setelah mengarungi lalu lintas yang memuakkan, Jake akhirnya sampai ke tempat tujuannya. Ia memasukkan limosinnya ke dalam garasi yang ia sewa beberapa blok dari flat. Setelah itu, ia pulang dengan berjalan kaki. Sendinya terasa bengkak. Otot-ototnya seperti mau robek. Namun ia tetap sabar. Karena sebentar lagi, semua rasa lelahnya akan hilang saat ia membaringkan kepalanya di dada Steven yang empuk dan nyaman.
Memikirkan Steven membuat senyumnya mengembang dengan cepat. Ia memencet tombol lift dengan sedikit bersemangat, meskipun lift itu merespon dengan sebaliknya. Tali yang menariknya ke atas tersendat-sendat. Ruang petak itu berderak dan berguncang-guncang. Jake tak akan heran kalau lift itu tiba-tiba jatuh dan merenggut nyawanya. Tapi ia tak perlu khawatir soal itu. Kekuatan Khonsu ada padanya.
Setelah menanggalkan semua pakaian kerjanya, Jake melemparkan tubuhnya ke kasur. Ia menutup matanya sebentar, merasakan betapa empuknya ranjang itu di bawah punggungnya. Tapi ia tak ingin istirahat di sana. Ia ingin Steven, karena Steven adalah tempat peristirahatan terbaik bagi Jake.
Jake menghidupkan sensornya dan mengirimkan sinyal pada Marc, memberitahunya bahwa sudah saatnya ganti shift. Tapi Marc tidak merespon. Hal ini biasa terjadi. Jake juga sering mengabaikan sinyal dari Marc karena tak terima waktunya telah habis. Kalau sudah begitu, yang perlu dilakukan hanyalah menarik paksa.
Baik itu Marc maupun Jake, biasanya pasrah saja jika ditarik paksa ke ruang kemudi. Namun kali ini, Marc tak bisa ditarik. Jake bahkan tak bisa merasakan keberadaannya. Pasti ia bersembunyi jauh di dalam sana, membawa Steven bersamanya.
Jake sangat lelah dan butuh banyak kasih sayang, sehingga ia tak berpikir apa-apa sebelum menerobos masuk ke dalam Headspace. Ia mau Steven dan sekarang adalah gilirannya. Marc tak punya hak dan alasan untuk menghalanginya.
Ia menggerutu di sepanjang lorong, kemudian menggedor-gedor pintu kamar Marc dengan tidak sabar. Tiga detik tak ada jawaban, ia langsung mendobrak dan masuk ke dalam. Tapi kamar itu kosong. Marc dan Steven tak ada di sana.
Jake tak buang-buang waktu di sana. Ia langsung menuju kamar Steven dan... benar saja. Keduanya ada di sana. Saling dekap di atas ranjang, dengan selimut tebal membungkus badan mereka. Jake membuat bunyi dengan tenggorokannya, membuat Marc menoleh dengan segera. Melihat Jake di ambang pintu, alisnya terjerat seperti biasa. Matanya tajam, aura posesifnya terlihat jelas dari segala sudut. Jake geram, terutama setelah melihat tangan Marc bergerak dari balik selimut. Ia menarik Steven lebih dekat ke dalam pelukannya. Mencoba menyembunyikannya dari dunia. Dari Jake.
"What the hell-"
"Shttt... Steven sedang tidur, brengsek!" potong Marc dengan galak, yang mana bagi Jake sangat tidak logis. Harusnya ia yang galak di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...