Steven meninggalkan Marc dengan perasaan yang tidak enak. Segera setelah tubuhnya bernapas—yang mana sekarang menjadi lemas karena tidak dipiloti selama bermenit-menit—Steven segera bangkit dan berputar-putar di dalam sebuah bangunan tua yang kumuh. Entah mengapa rumah yang ditemukan oleh Marc begitu jelek, tapi ia tak bisa terlalu peduli akan hal itu. Segera ia melintasi setiap pintu yang ia lihat di dalam sana, berusaha mencari cermin sebanyak mungkin. Ia menemukan satu yang besar bersandar terbalik di sebuah ruangan yang sepertinya bekas dapur. Setelah itu, ia kelimpungan lagi ke sana kemari, mencari cermin yang lain sembari menggerondot cermin yang satunya di bawah ketiak. Sial, ia tak bisa menemukan yang lain. Namun akhirnya, ketika ia mendobrak garasi yang hanya dikunci dengan gembok tua berkarat, Steven menemukan sebuah cermin lagi. Namun kali ini, cermin itu bukan cermin, melainkan kaca limosin yang mengkilat dan terlihat mendebarkan. Steven bahkan tak sempat memikirkan mengapa bisa ada limosin mewah dalam sebuah garasi yang tua dan kumuh. Yang segera ia lakukan adalah memposisikan cermin yang ia dapat dengan benar, agar pantulannya bisa terlihat dengan baik.
"Marc?!" serunya khawatir.
Pantulan bayangannya di cermin menoleh padanya, dengan mata awas ke arah yang lain. Sementara itu, refleksi pada kaca limosin bahkan hampir tidak melirik Steven sama sekali. Bayangan itu menyeringai licik, mirip ular. Steven langsung mengenali bahwa itu Jake meskipun topi baretnya menghilang kali ini.
"Mengapa aku tidak tahu kalau aku pernah menciptakanmu?" pantulan di cermin berbicara. Steven menempatkan dirinya untuk berdiri pada posisi yang sepas mungkin agar ia bisa melihat Marc dan Jake dengan jelas.
"Karena aku tak pernah berusaha menunjukkan diri. Aku tahu posisi dan derajatku sejak awal, Marc. Tidak seperti yang satunya yang mengira dirinya adalah yang asli," jawab Jake.
"Itu alasanmu bersembunyi dari kami? Karena kau menganggap dirimu tidak nyata?" tanya Marc lagi setelah beberapa lama.
Jake menggigit bibir bawahnya. "Aku hanya tak ingin menambah beban hidupmu. Itu saja."
"Tapi kau melakukannya, 'kan?" tuding Marc. "Katakan padaku, apa saja yang telah kau perbuat selama ini?! Kau membuat Harrow sekarat, membunuh dua orang yang seharusnya menjadi sumber informasiku...."
"Oh, jangan bodoh!" sergah Jake. Ia spontan merasa tersinggung. "Kau benar-benar berpikir aku membunuh mereka begitu saja? Tentu tidak! Aku sudah sebaik mungkin meminta tolong pada mereka agar memberikan apa yang kaumau, tapi mereka tolol. Jadi aku berikan saja mereka pelajaran."
Marc menggeleng-geleng tak habis pikir. "Itulah sebabnya aku tak bisa membiarkanmu seenaknya saja sekarang. Kau sangat berbahaya, aku bisa merasakannya," ujarnya
"Well... jika bukan tanpa Khonsu, kau mungkin tidak akan menganggapku seberbahaya itu."
Baik itu Marc maupun Steven, keduanya sama-sama terkejut mendengar Khonsu disebut-sebut. Jake benar-benar merasa bodoh. Segera sehabis itu, ia langsung dihajar dengan lusinan pertanyaan oleh kedua alternya. Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar begitu menekan, memaksa, dan butuh jawaban cepat. Tapi Jake tetap santai. Segera setelah semua pertanyaan itu habis, Jake langsung ambil alih. Ia tak berniat menjawab satupun pertanyaan dari Marc maupun Steven, ia hanya ingin mengatakan apapun yang ingin ia katakan tentang hubungannya dengan Khonsu. Bercerita ia kalau secara teknis, sekarang mereka masihlah avatar dari Dewa Bulan itu. Berkisah pula ia bagaimana Khonsu merahasiakan dirinya dari Marc dan Steven, seperti apa tugas-tugas yang diberikan Khonsu padanya dari dulu sampai sekarang, serta bagaimana perasaannya setelah menjadi tangan kanan Khonsu selama ini.
"Dia hanya memperbudakmu, Jake!" tegas Marc.
"Kau hanya tidak tahu betapa liciknya Merpati bodoh itu," Steven menimpali.
Jake seolah-olah tutup telinga. "Entah apa pendapat kalian, aku tidak peduli. Tapi yang pasti, Khonsu memberiku tujuan hidup. Aku sama sekali tidak merasa diperbudak. Dia memberiku apapun yang aku mau. Ini semacam win-win."
Tentu Marc dan Steven super kontra akan pernyataan Jake. "Bisa kau panggil dia ke sini? Aku ingin bicara padanya," kata Marc.
"Dia tidak akan mau. Dia sudah tidak punya urusan lagi dengan kalian," kata Jake dengan santainya.
"Excuse me?!" Marc hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Itu yang kalian mau, 'kan?" Jake cengengesan. "Dengar, Khonsu sudah menepati janjinya untuk melepas kalian, just like you guys want. Lalu mau apa lagi kau ingin bicara padanya?"
"Dengar, Jake. Jangan berkata seolah ini sesimpel itu. Kau melayaninya menggunakan tubuhku, jadi kau tak bisa seenaknya bicara begitu," Marc menegaskan.
"Oh Tuhan, aku mulai lelah dengan percakapan ini," Jake mulai mengeluh.
"Tidak. Ini baru dimulai," kata Marc penuh tekanan. "Kita akan membuat kesepakatan dan membuat peraturan baru, sekarang juga! Kau harus tetap di sini sampai kita semua jelas dan sepakat, mengerti?!"
Jake terpana, kemudian mengangguk-angguk. Ia hampir kaget dengan apa yang baru saja didengarnya. "Wow, baik sekali. Untuk sesaat, aku kira kau akan mendepakku dari sistemmu."
"Aku tidak punya pilihan lain, 'kan?" Marc memastikan perkataannya sendiri.
Jake menatap Marc dari atas ke bawah, kemudian menyeringai mengejek. "Kau jadi jauh lebih lembut dari yang sebelumnya aku ketahui, Marc," katanya. Ia kemudian menatap Steven dengan tajam. Pria itu masih saja terlihat takut pada Jake. "Tak kusangka kau akan berpengaruh sekali."
Refleksi Marc menatap Steven yang tengah berdiri kikuk karena ketakutan. Ia begitu khawatir akan keadaan Steven saat ini. Keceriaannya padam total. Marc hampir tak mengenalinya lagi. Tak perlu berpikir sampai dua kali ketika Marc akhirnya membuat kesepakatan pertamanya.
"Peraturan nomor satu, jangan pernah berani-beraninya kau menyentuh Steven," katanya dengan tegas, tajam, dan mengancam. "Sedikit saja kau menyakitinya, aku akan membuatmu menyesal telah diciptakan. Pegang kata-kataku."
Jake mendengus. "Aku sendiri tak pernah berharap untuk diciptakan. Tapi baiklah, aku mengerti. Itu mudah. Mari segera bahas yang lainnya, aku sudah mengantuk karena mendengarkan ocehanmu."
Marc menatap Steven yang tengah tertunduk lemas sambil mengusap-usap punggung tangannya yang gemetaran. "Steven...! Hei," panggilnya lembut. Yang dipanggil menoleh perlahan ke arah cermin. "Semuanya akan baik-baik saja, buddy! Aku janji."
Steven mengangguk lesu seperti anak SD yang habis kencing di celana.
"Aku akan mengawasinya di sini sambil membahas beberapa hal. Kau bisa bawa kita pulang?"
Steven mengangguk lagi, kemudian hendak berbalik, namun Jake berbicara padanya. "Berhubung sudah ketahuan, kau bisa bawa limosinku ke flat. Aku tak perlu lagi menyembunyikannya di sini. Kuncinya ada di dalam kaleng cat yang menggantung di sana," katanya sambil menunjuk ke pojok garasi.
Steven menatap limosin, Marc, dan Jake bergantian, lalu berbicara dengan wajah polos. "Aku tidak punya SIM."

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...