18. Broken Heart

368 60 37
                                    

Jika kalian terjebak dalam sebuah raga yang dihuni oleh Marc dan Steven, kemudian dipaksa untuk jatuh cinta pada salah satu dari mereka... maka siapa yang akan kalian pilih? Apakah Marc yang dingin, tempramen dan kasar? Atau Steven yang imut, lucu dan periang? Kebanyakan orang mungkin akan lebih memilih Steven, karena ada satu fakta yang memang tak bisa terbantahkan, yaitu: beberapa orang mungkin tidak menyukai Marc,tetapi tidak mungkin ada orang yang tidak menyukai Steven. Kalaupun ada orang yang lebih memilih Marc daripada Steven, kemungkinan besar yang ada di otak mereka hanyalah seks. Hal itu seharusnya jelas, karena Marc memang terlihat sangat rideable, sementara Steven lebih terlihat hugable.

Jake memilih untuk jatuh kepada Steven. Sebenarnya itu bukan pilihan, melainkan memang kehendak hatinya. Rasa kagumnya kepada Steven lambat laun berubah menjadi rasa suka, yang mana hal itu sangat menyiksa. Meskipun perasaan itu tumbuh di hatinya, Jake terpaksa harus memendam, mengubur dan menekannya dalam-dalam, karena ia masih tetap pada prinsipnya, yaitu tak mau terlibat secara langsung dengan kedua alternya.

Namun, Jake terkadang melanggar prinsipnya sendiri dengan cara yang tidak masuk akal. Contohnya, seperti saat ia mendesain ruangannya di dalam Headspace. Ada alasan khusus kenapa Jake lebih memilih untuk membuat pintu rahasianya di dinding kamar Steven ketimbang Marc. Alasan yang awalnya Jake sendiri tak tahu apa tujuannya. Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai tahu kenapa ia melakukan itu.

Kalau diingat-ingat lagi, Jake hanya pernah mengambil alih kemudi saat Marc yang menjadi pilot. Sebenarnya ada penjelasan sederhana di balik itu, yaitu karena Jake ingin melihat Steven sebelum keluar dari Headspace. Saat Marc memegang kendali, Steven biasanya akan tidur di kamarnya. Jake sering memanfaatkan kesempatan itu untuk menemuinya. Ia akan keluar dari dinding yang ada di balik rak buku itu, kemudian berdiri di pojok ranjang hanya untuk menontoni Steven terlelap selama berjam-jam. Ia senang melihat betapa manisnya wajah Steven, serta betapa lelahnya ia setelah melewati hari yang panjang. Terkadang, Jake sangat ingin mendaratkan ciuman halus pada kening Steven, kemudian berbisik lembut di telinganya.

"Selamat beristirahat, mi amor."

Mungkin kata-kata itulah yang akan Jake bisikkan jika ia memiliki keberanian. Tapi sayangnya, ia tak pernah punya nyali. Ia hanya bisa mencintai Steven dalam diam, dan itu sungguh sangat menyiksa batinnya.

Perasaan Jake makin tersiksa saat keberadaannya terbongkar. Padahal awalnya, ia merasa cukup senang karena Steven adalah orang pertama yang berhasil menemukannya. Namun setelah itu, semuanya berubah menjadi mimpi buruk yang menyeramkan, karena ia membuat Steven ketakutan. Kesan pertamanya benar-benar buruk di mata Steven. Jake tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri untuk itu. Hatinya benar-benar hancur melihat orang yang dicintainya bahkan tak berani menatap ke arahnya. Melihat Steven terus bersembunyi di balik punggung Marc benar-benar membuat Jake merasa sesak. Apalagi setelah Marc mengeluarkan dekrit yang memintanya untuk tidak dekat-dekat dengan Steven, makin lebur hati Jake jadinya. Meskipun lidahnya enteng saja menyetujui peraturan itu, nyatanya batinnya tidak begitu.

Malam itu, ketika Marc mengawasinya seperti tahanan penjara, Jake tak bisa tidur karena terus menyesali perbuatannya terhadap Steven. Ia terus berharap akan ada keajaiban, dimana ia bisa memutar waktu, sehingga ia bisa memperbaiki kesalahannya. Tapi semakin bergulirnya malam, Jake pun sadar, bahwa keajaiban itu tidak ada. Tapi ia tahu, masih ada yang namanya kesempatan kedua. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Maka saat fajar mulai merangkak naik, Jake pun bergegas turun dari ranjangnya, meninggalkan Marc yang ketiduran di sofa. Ia tak peduli meski harus melanggar peraturan yang telah ia sepakati kemarin. Ia akan menerima apapun risikonya, asalkan ia mendapatkan kesempatan keduanya. Ia segera melesat ke ruang pandang, menemui Steven, mencoba memberanikan diri untuk meminta maaf.

Namun di luar sana, Steven sedang memikirkan Marc. Jake melihatnya berdiri di depan cermin, memanggil-manggil Marc dengan putus asa. Ia nampak sangat sedih karena panggilannya tidak mendapat jawaban. Hal itu membuat Jake urung melancarkan niatnya. Sebagai gantinya, ia cuma duduk di sana, menonton Steven bersiap-siap berangkat kerja dalam keadaan lesu. Jake melihatnya mandi tanpa semangat, kemudian memanggang roti sambil melamun. Sebelum benar-benar pergi, Jake melihat Steven kembali lagi ke muka cermin, memanggil Marc untuk yang terakhir kali, namun tetap tak ada hasil. Jake ingin sekali menyahut, agar Steven tidak terlalu kecewa karena tak ada yang menyambut panggilannya, tapi ia sadar ia bukan siapa-siapa. Selain itu, ia mungkin hanya akan membuat Steven ketakutan, sehingga ia hanya diam saja di sana seperti pengecut.

Keadaan makin runyam saat Jake mengetahui bahwa Steven cemburu padanya. Steven mengira bahwa Jake menyukai Marc, atau sebaliknya. Jake sadar akan hal itu saat mereka bertiga berdebat soal memberi pelajaran pada anak-anak remaja yang menghalangi misi Jake malam itu. Jake ingat betul bahwa Steven menentangnya habis-habisan, tidak setuju dengan langkah yang diambilnya untuk menghukum para remaja itu. Jake sebenarnya ingin sekali menuruti kemauan Steven, tapi ia harus tetap profesional. Jake harus tetap memakai topengnya, dan tetap bersikap seperti biasa meskipun hatinya terbakar habis-habisan. Ia menerima sebuah kenyataan yang sangat pahit pada malam itu, yaitu: kini Steven bukan hanya takut padanya, melainkan juga sangat membencinya.

Keesokan harinya, Jake mendekam seharian di kamar karena galau akan kejadian malam itu. Selain itu, ia juga merasa bersalah karena telah membuat Marc dan Steven bertengkar hebat. Jake dapat mendengar keputusasaan Marc di luar sana, dimana ia berusaha mati-matian agar Steven mau bicara padanya, tapi sia-sia. Ia juga mendengar Marc terhempas berkali-kali ke lantai, karena Steven me-reject-nya dengan kasar dari kursi kemudi. Jake ingin sekali berlari ke luar sana, berteriak kepada Steven dan mengatakan kebenarannya, bahwa ia tidak menyukai Marc, bahwa ia dan Marc tidak memiliki hubungan apa-apa. Ia ingin sekali mengatakan dengan lantang, bahwa orang yang disukainya adalah Steven Grant, a man from a gift shop, bukannya Marc Spector. Tapi tentu saja itu tidak terjadi, karena Jake tak punya nyali sebesar itu. Selain itu, Jake juga tahu bahwa Steven dan Marc saling jatuh cinta, sehingga tindakannya itu seratus persen akan sia-sia. Maka akhirnya, ia lebih memilih untuk menutup kepalanya dengan bantal,  kemudian berdoa kuat-kuat. Berharap agar tidak mendengar keributan apapun dari luar sana. Berharap agar bisa tidur... untuk selama-lamanya. 

Malamnya, Jake terbangun setelah sadar bahwa Steven menariknya diam-diam ke ruang kemudi. Gerak-geriknya nampak gugup dan kikuk, sehingga Jake jadi penasaran akan apa yang mau dilakukannya. Maka dengan kelebihan yang dimilikinya sebagai avatar, Jake memanfaatkan kekuatan Khonsu untuk menyelinap ke dalam Headspace tanpa harus membahayakan tubuh Marc. Ia masuk ke kamarnya secara diam-diam, kemudian menguping dari balik tembok, ingin tahu apa yang sedang dibicarakan Marc dan Steven di balik sana.

Sebenarnya, Jake tahu bahwa apa yang dilakukannya hanya akan menghancurkan dirinya sendiri, tapi ia tetap melakoninya. Setelah semua yang didengarnya dari percakapan itu, Jake pun hanya bisa pasrah dan menerima kenyataan bahwa Marc dan Steven akhirnya saling mengklaim satu sama lain. Jake juga hanya bisa merosot ke lantai ketika mendengar suara plok plok menggema dari kamar di sebelahnya. Ia hanya bisa meringis, menahan rasa sakit yang membakar hatinya ketika mendengar Steven mendesah keenakan karena dientot oleh Marc. Dari desahan itu, Jake langsung tahu, bahwa Marc adalah satu-satunya yang diinginkan oleh Steven. Ia telah terlambat. Ia tak punya harapan. Pria yang dicintanya telah menjadi milik orang lain.    

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang