Hitam.
Gelap.
Sunyi.
Terlalu sunyi.
Marc bisa merasakan tubuhnya. Tapi ia tak bisa bergerak. Seolah-olah terjebak.
Lama. Lama sekali sampai ia bisa menggerakan badannya. Tangan dan kakinya tak bisa dipaksakan, hanya lehernya saja yang bisa diperintah. Tapi itu tak membuat banyak perubahan. Ke mana pun ia menoleh, matanya hanya bisa melihat gelap. Hitam di mana-mana.
Saat Marc sadar bahwa ia tak bisa menoleh ke belakang, barulah ia tahu bahwa tubuhnya sedang terbaring. Telentang. Apakah ia berada di lantai?
Dengan sedikit paksaan, Marc akhirnya mampu menggerakan sebagian besar anggota tubuhnya. Otot punggungnya siap untuk bertugas, sehingga ia pun mendorong tubuh bagian atasnya, mencoba untuk duduk. Namun, belum sampai ia mencapai posisi setengah duduk, kepalanya tiba-tiba terbentur.
Marc kembali berbaring dan mulai mencari-cari tangannya. Ia menggerakkannya ke depan dan ke samping, dan betapa kagetnya ia karena jari-jarinya menggapai suatu permukaan yang dingin, dan itu hanya sekitar setengah meter di depannya. Bahkan lebih dekat lagi di kanan kirinya.
Ia meraba-raba tekstur benda yang digapai oleh tangannya itu, dan mulai merasa kebingungan. Apa ini... dinding semen? Tapi kenapa sepertinya tipis? Tidak setebal tembok pada umumnya.
Sesak. Itulah yang menyerang Marc tiba-tiba. Belum usai ia dengan kebingungannya, ruangan di sekitar tubuhnya tiba-tiba saja terasa menyempit. Namun ia tetap tak bisa melihat di mana sebenarnya ia berada. Semuanya masih gelap. Dan tak lama kemudian, ia menyadari bahwa udara di sekitarnya mulai menipis. Paru-parunya tercekat.
Apa ia dikurung di dalam peti?
Tanpa pikir panjang, Marc segera mendorong permukaan semen di atasnya yang sepertinya adalah penutup peti. Berat. Tak bisa digeser. Namun saat ia menggunakan kakinya sebagai bala bantuan, ia merasakan tutup itu terangkat walaupun hanya sedikit, hanya beberapa senti.
Ia tahu bahwa ia hanya membutuhkan tenaga yang lebih besar agar bisa menyingkirkan penutup itu dari hadapannya. Namun tubuhnya tak bisa diajak kompromi. Ototnya lemas. Dan udara yang tipis makin memperkeruh keadaan.
Tapi Marc tak mau mati. Tidak saat ia teringat akan Steven.
Steven memberinya kekuatan. Harapan. Alasan untuk berjuang.
Ia mendorong sekuat tenaga, dan kali ini sambil berteriak. Penutup itu mulai terangkat. Dan saat ia menggesernya ke kiri, semburat cahaya putih langsung menghujani matanya, menghapus gelap yang telah lama berkuasa dan menjajah pengelihatannya.
Penutup itu pun akhirnya jatuh. Marc segera bangkit, keluar dari dalam peti dengan tubuh lemas dan kekurangan oksigen. Ia menghirup udara sepuas-puasnya sambil menyapu mata ke seluruh penjuru ruangan.
Butuh waktu beberapa saat bagi Marc untuk menganalisis di mana keberadaannya. Peti yang baru saja mengurungnya bukanlah peti biasa, melainkan sakorfagus. Dan ia pernah melihat itu sebelumnya. Kemudian ruangan yang ia pijaki sekarang... nampak begitu familiar. Dindingnya putih, lantainya keramiknya juga putih. Semuanya sekilas terlihat seperti Headspace, tapi bukan. Ini jauh lebih kompleks dari ruangan yang ada di dalam kepalanya itu.
Dan setelah beberapa detik, ia baru sadar bahwa ini adalah rumah sakit jiwa.
Ia ingat kejadian sebelumnya. Steven kena tembak, dan Marc berusaha menyelamatkannya, tapi tidak berhasil karena kegelapan tiba-tiba menyeret dan menculiknya.
Lalu sekarang, ia dibawa kemari. Rumah sakit jiwa. Yang artinya cuma satu hal.
Ia berada di Duat.
"Steven!" Marc memekik. Suaranya kering dan serak. Menggema. Namun sejauh apapun suara itu merambat, tetap tak ada jawaban. Hening.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romans"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...