Marc terbangun di sofa dan merasakan punggungnya sakit sekali. Matanya mengerjap-ngerjap, mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan uap yang menggumpal-gumpal seperti asap rokok. Ia meregangkan tangannya kuat-kuat, berusaha membenarkan posisi tulang-tulangnya. Namun tak sampai dua detik, tulang-tulangnya tiba-tiba terasa rontok dan kabur meninggalkan tubuhnya. Marc lemas. Ia mendapati Jake tidak ada di ranjang yang ada di hadapannya. Terbirit-birit ia meninggalkan kamar itu.
"Jake? Jake?!! Di mana kau?" Marc berlari menelusuri lorong. Baru saja ia mau memasuki ruang pandang, Jake tiba-tiba muncul dari dalam sana, berjalan acuh tak acuh melewati Marc.
"Tenanglah, aku tidak ke mana-mana. Kau berisik sekali."
Marc berbalik dan menyusul Jake yang hendak kembali ke kamarnya. "Habis darimana kau? Menemui Steven? Apa kesepakatan kita tentang—"
"Aku hanya ingin melihat keluar sebentar, Marc. Di sini sumpek," pungkas Jake dengan suara yang masih mengantuk. "Sumpah demi Tuhan, aku sama sekali tak bicara dengannya, apalagi mengganggunya. Berhentilah bersikap berlebihan."
"Aku tak bisa mempercayaimu."
Jake menghela napas. Sudah hampir delapan belas jam sejak Marc memperlakukannya seperti tahanan penjara. Dan seperti yang terlihat sekarang, itu masih belum cukup untuk membuat Marc percaya bahwa Jake bukan penjahat. Entah berapa lama Jake akan mengalami ini. Ia sudah merasa lelah, bahkan sebelum semua ini dimulai.
"Dia baik-baik saja, Marc. Dia baru saja berangkat kerja."
"Ohh," Marc tertegun, kemudian merana. Biasanya ia akan mengambil alih tubuh di saat-saat seperti ini, untuk memastikan Steven aman sampai ke museum. Tapi kali ini, ia tak bisa melakukannya. Ingin sekali ia setidaknya duduk di ruang pandang, menemani Steven dalam perjalanan ke museum. Tapi entah mengapa, insting buruk tak mau lepas dari dirinya kalau Jake tengah terjaga. Ia merasa kalau ia lengah sedikit saja, Jake akan dengan mudah menyayat lehernya dan kemudian mencelakai Steven.
Jadilah keduanya kembali duduk di kamar Jake, berjarak. Mereka sudah seperti sipir dan tahanan. Jake merasa heran kenapa Marc tidak lelah menatapnya dengan mata yang berurat dan penuh amarah. Marc bahkan bisa melakukan itu selama berjam-jam tanpa memakai obat tetes mata.
Waktu berikutnya dihabiskan dengan interograsi, seperti biasa. Marc menanyakan banyak hal tentang Jake, mengulik habis origin story-nya. Jelas Jake merasa pengungkapan jati dirinya jadi biasa-biasa saja, tidak special sama sekali. Bahkan Steven saja tidak bisa mendengar langsung darinya. Berbeda dengan pengungkapan jati diri Marc dan Steven yang kemarin terjadi di Duat, yang penuh dengan drama picisan dan berlinang air mata. Sungguh Jake merasa semua ini tidak adil.
Setelah Marc kehabisan pertanyaan, serta merasa tidak ada lagi yang bisa diulik dari Jake, kamar itu menjadi sunyi layaknya field of the reeds, bahkan lebih parah. Tak ada hembusan angin, tak ada sinar matahari, dan jelas tak ada padang alang-alang. Yang ada cuma sepi dan sunyi yang merayap memenuhi ruangan. Mungkin keadaan itulah yang mendorong terjadinya percakapan biasa antara Marc dan Jake. Semuanya terjadi secara alami, mengikuti alur pembicaraan yang telah terbentuk sebelumnya. Tahu-tahu mereka membicarakan soal politik, soal ayah Marc, soal lamaran pekerjaan Marc yang sudah ia kirim seminggu lalu namun masih belum ada balasan, soal aksen Spanyol milik Jake, bahkan mereka membicarakan soal Avengers dan blip Thanos. Butuh waktu yang lama memang untuk mencapai itu, tapi yang pasti, ketegangan antara keduanya mulai melunak, sedikit demi sedikit, dalam laju yang relatif kecil.
Perbincangan santai itu membuat Marc merasakan bahwa dirinya punya banyak kesamaan dengan Jake. Jika ia menciptakan Steven dengan kepribadian yang berbanding terbalik dengan dirinya, Jake tidak demikian. Ia dan Jake hampir memiliki sifat dan pribadi yang sama, entah itu dalam cara memandang sesuatu, maupun dari cara menyikapi sesuatu. Hal itu Marc simpulkan dari cara mereka menanggapi kasus blip yang baru saja mereka jadikan bahan ghibah. Dan seiring bergeraknya jarum jam, Marc menemukan makin banyak kesamaan antara dirinya dengan alternya yang satu ini.
Waktu terus berputar. Ada beberapa titik di mana keduanya kehabisan topik dan Marc mulai melonggarkan penjagaannya. Ia tidur di sofa selama beberapa menit, kemudian bangun dan mengecek Steven sesekali, tapi alternya yang satu itu tengah sibuk-sibuknya melakukan inventaris. Ia kembali ke kamar Jake. Kali ini keduanya mengobrol banyak, intens, dan berjam-jam. Mereka tertawa bersama dan sesekali saling melemparkan lelucon. Mungkin karena topik kali ini adalah Steven.
Beberapa jam kemudian, topik mereka habis lagi. Tahu-tahu malam sudah menyekap mereka. Marc bergegas ke ruang pandang, mengecek keadaan Steven dengan Jake mengikutinya dari belakang. Sesampainya di sana, Steven masih kelihatan sibuk.
"Mungkin aku harus menunggu dia pulang agar bisa menyapanya," kata Marc kepada Jake.
Jake cuma diam, menatap Steven melalui pantulan layar komputer yang sudah mati. Kemudian ia menoleh pada Marc. "Dia tampak muram," katanya dengan nada yang berusaha datar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...