Saat Taweret membawa mereka ke geladak, Marc melihat pemandangan itu lagi. Semuanya masih sama seperti saat pertama kali ia ke sini. Ada langit biru tua yang diatur sedemikian gelapnya, awan-awan hitam yang menggumpal memenuhi langit, dan tentunya lautan pasir yang terbentang sepanjang mata memandang. Ada pula bebatuan hitam yang muncul jarang-jarang di permukaan pasir. Namun sekalinya ada, mereka bergerombol membentuk pulau kecil sebesar perahu nelayan, bahkan ada yang selebar kapal feri.
Keadaan kapal itu sendiri masih sama. Ada timbangan besar di tengah-tengah geladak, dan ada kemudi di dekat haluan. Jake nampak terpesona dengan semua pemandangan yang melintas di sepanjang pelupuk matanya. Duat memang terlihat begitu indah dan menakjubkan. Eksotik. Setidaknya itulah kesan pertamanya sebelum Marc memberitahunya kalau pasir-pasir itu bisa berubah menjadi zombie.
Taweret menuntun mereka ke sisi kiri kapal, menerawang jauh ke samudera pasir yang terbentang bebas tanpa batas.
"Apa kalian melihat cahaya warna-warni yang mirip aurora itu?" tanyanya sambil menunjuk jauh ke depan.
Marc menyipitkan mata. Ia melihatnya. Ada semacam seutas cahaya yang bergerak-gerak seperti gelombang dinamis di atas ladang pasir, sekitar 500 meter di barat laut kapal. Cahaya itu nampak seperti sobekan halus di tengah-tengah udara. Dan juga, sobekan itu sebenarnya tak nampak seperti aurora. Ia hanya didominasi oleh cahaya dengan spektrum warna tertentu, seperti biru tua, ungu, jingga, dan hitam. Selaras dengan warna yang menyelimuti Duat.
"Ya, aku melihatnya," Marc mengkonfirmasi. "Apa itu?"
"Itu semacam tirai atau portal. Penghubung antar alam persimpangan," kata Taweret dengan cukup semangat. "Dan itu bukan tirai satu-satunya. Mereka tersebar di seluruh Duat," ia memindahkan jari telunjuknya ke arah mata angin yang lain, menggesernya dengan gerakan tali busur yang dinamis.
Marc mengikuti pergerakan jari itu. Ternyata benar. Tirai itu memang tersebar di mana-mana. Hanya saja, mereka nampak samar, tidak kentara apalagi mencolok. Seolah-olah hanya dapat dilihat jika sedang dicari.
"Apa itu normal?" tanya Jake dengan bingung.
"Setiap alam persimpangan memang terhubung satu sama lain melalui percabangan," Taweret menjelaskan. Helaan napasnya terdengar seperti ia sedang berusaha mengumpulkan kesabaran. Ia sudah menduga bahwa kedua pria ini pasti akan memberondongnya dengan lusinan pertanyaan. "Itu diperlukan untuk menjaga keseimbangan. Dan secara teori, kita bisa berpindah ke alam persimpangan yang lain melalui tirai itu. Tapi sepertinya akan sulit."
"Kau pernah mencobanya?" Jake memastikan.
"Tentu tidak. Aku tak tahu seberapa besar risiko yang dipertaruhkan jika menyeberang melalui itu. Karena yang aku tahu, portal itu ada untuk mengatur aliran energi dari alam yang satu ke alam yang lain. Bukannya untuk dimasuki oleh material fisik seperti kita."
"Jadi bagaimana kau bisa tahu kalau itu bisa diseberangi? Kau cuma mendasarkan itu dari teorimu?" Jake tetap memberondong.
Taweret menghela napas. "Dengar, aku tahu pengetahuanku tidak sempurna mengenai hal ini. Tapi aku tak akan memberi tahu kalian jika ini tak punya peluang sama sekali."
"It's okay, Taweret, aku menghargai bantuanmu," Marc angkat bicara kali ini. Ia menatap Jake dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan. Ia kelihatan marah dan kesal, tapi di saat yang bersamaan, ia seperti sudah lelah dengan semua ini. "Singkat saja, Jake. Jika kau tak yakin soal ini, maka kau tak perlu ikut. Aku bisa menyelamatkan Steven sendirian."
Jake langsung tersinggung mendengar kata-kata itu. "Apa?!" ia menukas lebih kasar dari yang seharusnya ia maksudkan. "Tidak, bukan begitu maksudku, Marc. Hanya saja, untuk bisa menyelamatkan Steven, kita sendiri harus selamat, bukan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...