Ketika dibujuk oleh Marc agar mau bicara dengan Jake, Steven menyanggupinya. Itu terasa melegakan, namun di saat yang bersamaan... mengkhawatirkan. Marc sendiri yang meminta Steven melakukan itu, tapi ia sendiri juga yang tidak tenang saat Steven menyetujuinya.
Memang butuh waktu yang tak sedikit bagi Marc untuk percaya sepenuhnya pada Jake. Pertama kali ia meninggalkan Steven bersama pria berlogat Spanyol itu, hatinya tak tenang. Ia takut Jake akan mencelakai Steven walaupun sudah diberi peringatan.
Namun ternyata, tak ada hal buruk yang terjadi. Steven berhasil membuat Jake menjadi temannya, dan Marc kagum akan hal itu. Seharusnya ia tahu, kalau Steven akan dengan mudah membuat Jake suka padanya. Karena memangnya siapa yang tak akan suka pada Steven Grant yang ramah dan baik hati?
Dan setelah itu, Marc akhirnya tak kaget lagi saat Steven bahkan bisa mengubah sifat Jake yang tertutup, dingin dan kejam. Pria itu jadi lebih lunak dan jinak setelah menghabiskan waktu bersama Steven. Itu benar-benar luar biasa. Itu adalah hal yang tak akan pernah bisa dilakukan oleh Marc walaupun ia kuliah di jurusan psikologi selama 15 tahun.
Steven pernah melakukan hal yang sama pada Marc soal itu. Seperti yang kita tahu, Marc yang dulu sangatlah egois, kasar, dan tidak berperasaan. Kemudian Steven datang padanya, mengubahnya menjadi 'manusia'.
Ketika Steven melakukan hal yang sama pada Jake, ada terselip rasa takut dalam hati Marc. Mendengar Steven bercerita mengenai kesehariannya bersama Jake dengan wajah yang berseri-seri, Marc sempat khawatir kalau matahari kecilnya itu akan berpindah hati. Bagaimana kalau suatu hari... Steven menyukai Jake, kemudian mencampakkannya?
Bagaimana bisa ia melanjutkan hidup jika Steven tak menginginkannya lagi?
Ketakutan Marc akan hal itu langsung ditepis mentah-mentah oleh Steven. Marc melihatnya. Ia melihat bagaimana Steven makin jatuh cinta padanya seiring berjalannya hari. Caranya memeluk dan menggenggam tangan Marc menunjukkan bahwa perasaannya tak melonggar barang sedikit pun. Caranya menatap Marc selalu penuh dengan kasih sayang yang tak pernah kurang. Steven menguasai semua love languge yang tercantum dalam undang-undang generasi milenial, dan tak sedikit pun ia ragu untuk memberikan semua itu pada Marc. Tak sekali pun juga ia ragu dalam hal menunjukkan cintanya pada Marc. Ia selalu jujur dan apa adanya. Kontras dengan Marc yang kadang diselimuti gengsi.
Seperti yang bisa dilihat sekarang. Steven tengah tertidur pulas dalam pelukan Marc. Dekapannya sangat erat, sebagai tanda bahwa ia sangat merindukan Marc-nya setelah seminggu tak bertemu. Beda dengan Marc. Kalau ia rindu, ia mungkin tak berani menyentuh Steven lebih dulu kecuali ia tahu kalau Steven menginginkannya. Itu kadang-kadang bahaya juga. Bisa menciptakan pikiran negatif seperti yang dilakukan Steven ketika berhububungan intim tadi.
Marc membiarkan Steven memeluknya, karena ia juga sangat merindukannya. Bahkan walaupun pria itu kini berada dalam genggamannya, Marc masih tetap merindukannya. Tak sedikit pun ia mau bergerak. Tak terhitung berapa banyaknya kecupan yang telah ia daratkan pada rambut ikal Steven yang berantakan semenjak ia terlelap.
Tapi setelah apa yang terjadi, Marc sadar kalau ia tak boleh diam saja. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kekasih tercintanya itu. Apa yang membuat sikapnya begitu aneh? Apa yang membuatnya begitu sensitif?
Apa benar itu terjadi hanya karena rindu? Kalau memang iya, kenapa ada rasa takut yang terpancar dari mata Steven? Kenapa ia bicara ngelantur?
Meskipun tak suka, Marc akhirnya memutuskan untuk beranjak dari ranjang, dan dengan berat hati melepaskan diri dari Steven yang menempel kuat padanya. Ia memakai pakaiannya yang robek karena ulahnya sendiri, kemudian keluar dari kamar tanpa membuat keributan, tanpa membangunkan Steven. Ia menuju ke ruang pandang, menemui Jake yang sedang duduk di luar, menatap laut dari balkon kecil yang ada di kamar hotel.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romansa"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...