8. Another Feeling

383 64 9
                                    

Pagi itu Steven menjalani kegiatannya sendiri. Setelah malam tadi Marc menjamunya dengan spagethi dan teh herbal, keduanya pun kembali berpisah. Steven harus tetap berada di kursi kemudi, sedangkan Marc kembali mengawasi Jake di dalam Headspace. Paginya, saat Steven sarapan dan bersiap-siap untuk pergi ke museum, Marc tidak muncul lagi. Steven sudah mencoba memanggilnya beberapa kali. Melalui cermin kamar mandi, juga melalui pikirannya sendiri, tapi tidak ada tanda-tanda dari Marc. Steven khawatir lagi. Sebelum berangkat ia berdiri lagi di depan cermin.

"Marc? Kau di sana?" Steven memanggil. Tidak ada jawaban.

"Oke, sepertinya tidak ada. Umm...aku berangkat kerja dulu. Sapalah aku sebelum aku jadi khawatir lagi, yeah?"

Masih tidak ada jawaban. Terpaksa Steven menghela napas berat. "Okay, see you. Later gators."

Di museum, Steven tak bisa berhenti memikirkan Marc. Meskipun banyak sekali barang yang harus ia inven pagi ini, itu tetap tak bisa mengalihkan pikirannya. Steven sudah menyiapkan cermin besar untuk diletakan di sampingnya agar ia segera tahu kalau Marc muncul. Tapi sampai matahari berada pada posisi tegak pun, Marc masih belum menunjukkan dirinya. Steven menjadi cemas. Dia mengkhawatirkan Marc lagi, just like last night. Dia takut Jake melakukan sesuatu padanya. Ini sudah terlalu lama, sudah jam istirahat siang, mengapa Marc masih belum muncul juga?

"Come on, mate! Kenapa kau senang sekali membuatku khawatir?" Steven menggumam pada cermin di sampingnya.

"Kau tak mau istirahat, Grant?" seseorang tiba-tiba membuyarkan kekhawatiran Steven. Ia segera mengalihkan pandangannya dari cermin ke orang yang menyapanya. Di seberang meja inventaris itu, berdiri dengan tegak Dane Whiteman sambil memegang gelas kopi di tangannya.

"Ehh...duluan saja Dane. Aku masih belum lelah maupun lapar. Ini terlalu banyak untuk ditinggalkan," kata Steven sambil melirik barang-barang yang belum ia inven.

"Yah, aku bisa melihatnya. Sibuk sekali," kata Dane sambil menyapu matanya menelusuri barang-barang yang discan oleh Steven. "Ya sudah kalau begitu, aku duluan. Jangan memaksakan diri, okay? " katanya seraya berlalu.

Setelah Dane pergi dan museum sepi, Steven tidak melanjutkan pekerjaannya lagi. Ia duduk, kembali menatap cermin. Sekali dua kali ia mengeluarkan suara, memanggil Marc lagi, tapi tetap tidak ada hasil. Akhirnya Steven tak bisa menahan diri. Ia memposisikan kepalanya pada sandaran kursi, kemudian memejamkan matanya. Tak lama kemudian, terdengar suara swush yang pelan dan cepat, kemudian Steven membuka matanya. Sekarang ia ada di ruang pandang.

"Marc?" Steven memanggil pelan sambil berjalan menuju lorong. Segera ia mendatangi pintu yang paling dekat dengan ruang pandang. Itu adalah pintu kamarnya Marc. Steven mengetuknya, namun tidak ada jawaban. Ketika ia memutar kenopnya, ternyata pintu itu tidak terkunci, namun tidak ada orang di dalam sana. Steven segera meninggalkannya, kemudian berjinjit menuju kamarnya. Ia hendak mendatangi kamar Jake yang tersembunyi di balik rak bukunya. Namun setelah beberapa langkah, Steven kaget karena tiba-tiba mendapati ada pintu lain di sisi kanan lorong itu. Pintu itu terletak di tengah, di antara pintu kamar Marc dan Steven. Steven mengasumsikan bahwa Headspace membuatnya setelah keberadaan Jake terbongkar.

Steven mendekati pintu itu, mecapai kenopnya. Baru saja ia hendak memutar kenop itu, tiba-tiba terdengar suara tawa dari dalam. Steven seketika melepas pegangannya dari gagang pintu, kemudian membungkuk perlahan, mengintip melalui lubang kunci. Ia tertegun. Melalui lubang kecil itu, Steven bisa melihat Marc dan Jake duduk di ranjang dan tertawa bersama. Entah apa yang mereka tertawakan, tapi keduanya terlihat begitu bahagia dan bersemangat sekali. Marc tertawa kencang sambil memukul bahu Jake, kemudian mengusap-usapnya lembut. Jake juga melakukan hal yang sama. Mereka terlihat asik dan klop sekali. Steven bahkan yakin bahwa ia tak pernah melihat Marc tertawa selepas ini. Tak pernah juga ia melihat Marc bersemangat sampai sebegitunya, apalagi cuma karena obrolan.

Setelah melihat potongan adegan itu, Steven tiba-tiba merasakan sesuatu menyerang dadanya, tapi itu bukan perasaan yang sama seperti yang biasa ia rasakan ketika bersama Marc. Serangan kali ini membuat Steven kehilangan senyum dan semangatnya. Kekhawatirannya akan Marc raib dalam sekejap mata, energinya tiba-tiba terasa diserap oleh lintah raksasa. Sementara tawa di dalam kamar semakin keras dan seru, Steven merasakan kakinya kehilangan keseimbangan. Tepat sebelum tubuhnya jatuh ke lantai, terdengar suara swush kencang, yang mendorong tubuhnya ke depan. Ketika Steven membuka matanya kembali, ia mendapati dirinya terkulai di kursi, dengan seseorang menepuk-nepuk pipinya.

"Grant?! Sadarlah, sadar...."

Steven mencoba mengangkat tubuhnya. Dane membantunya untuk duduk tegak.

"Sudah kubilang bukan, jangan memaksakan diri?! Apa kau belum makan dari tadi pagi?"

Butuh waktu bagi Steven sebelum bisa menjawab pertanyaan itu. Ia merasakan tubuhnya lemas. Padahal, baru beberapa menit ia meninggalkan kemudi. Sepertinya, staminanya akan terus berkurang jika ia terlalu sering meninggalkan tubuhnya tanpa awak.

"Aku akan mencarikanmu makan, okay?" Suara Dane kembali menyadarkannya. "Minumlah air ini dan jangan terlalu banyak bergerak."

Steven mengangguk lemah dan membiarkan Dane pergi meninggalkannya. Lalu, meskipun tak ingin mengingatnya lagi, potongan-potongan adegan yang Steven lihat tadi tiba-tiba kembali menghampiri otaknya, diikuti dengan serangan yang sama persis dengan yang barusan menusuk hatinya. Serangan yang menciptakan perasaan baru yang belum pernah Steven rasakan sebelumnya.

Perasaan itu terasa sangat pahit, tidak menyenangkan, menyedihkan, dan begitu tidak mengenakkan. Steven pun segera tahu, bahwa itu adalah perasaan cemburu.    

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang