44. Gods & Humans

109 10 8
                                        

Untuk sesaat, tubuh Steven terasa berat. Ia merasa ada sesuatu yang besar sedang menindihnya. Jiwanya terjerat, tapi telinganya pekak. Seseorang tak mau berhenti meneriakkan namanya.

"Steven! Steven!! Steven!!!"

Ia mencoba menggerakkan mulutnya, tulangnya, matanya. Tapi percuma. Ia tak bisa mengendalikan apa-apa. Tubuhnya seperti dicuri. Jiwanya mengambang di dimensi yang hilang.

"Marc!"

Steven tersentak, seolah-olah habis terlempar dari jurang yang sangat tinggi. Ia terbangun dengan jantung bertalu-talu dan napas memburu. Tubuhnya bangkit sembari meronta-ronta, tapi seseorang memeganginya agar tetap tenang. Ia nyaris terhempas dari ranjang yang sempit.

"It's okay. You alright," suara itu terdengar lembut. Telapak tangan mengusap punggung dan lengannya dengan pelan dan hati-hati.

"Layla?"

Steven masih belum bisa bicara dengan baik. Semuanya terasa berputar-putar baginya. Kepalanya sakit. Tubuhnya menggigil. Pikirannya terlilit-lilit seperti mengalami distorsi. Ia tak mampu mengingat apapun dengan benar.

"Hei, lihat aku!" suara Layla datang entah dari arah mana. Steven tak bisa meresponnya dengan segera, seolah-olah sistem sarafnya sedang di-reboot. Tapi dua tangan menangkup pipinya dengan lembut, mengarahkannya untuk melihat ke dalam dua mata coklat yang berada tepat dihadapannya.

Baru setelah berusaha semaksimal mungkin untuk mengumpulkan nyawanya, Steven mulai bisa merasakan kehangatan telapak tangan Layla di atas pipinya yang pucat dan dingin. Pandangan Layla yang penuh simpati membuat detak jantungnya perlahan-lahan turun.

"Layla?" Steven kembali mengulang. Kali ini ia dapat membentuk aksen british itu ke dalam suaranya. Layla mengenalinya.

"Steven?"

Steven memegang pergelangan tangan Layla, menautkan jari-jari mereka untuk mencari lebih banyak kehangatan. "Apa yang terjadi?"

Ketika ia menanyakan itu, sebuah sinyal langsung bergerak ke otaknya, menuntut jawaban. Tapi semuanya kabur. Satu-satunya hal yang dapat diingat olehnya adalah suara tembakan.

"Oh, bollock!" ia dengan spontan melepaskan pegangannya pada Layla, meraba perut dan dadanya dengan terburu-buru. Tapi tak ada apa-apa di sana. Hal itu harusnya menenangkan, tapi Steven malah merasa sebaliknya. "Apa yang-"

"Shttt...," Layla menenangkannya seraya mengusap-usap lengannya. "Jangan terburu-buru. Tarik napas dulu, Steven."

Steven sendiri tak sadar sudah sejak kapan ia menahan napas. Tapi setelah ia mengikuti arahan Layla, semuanya terasa jadi jauh lebih jernih. Ia merasa lebih rileks dan santai.

Setelah tenang, matanya langsung beralih kepada sosok pria dan wanita yang berdiri di samping Layla. Untuk beberapa alasan, Steven harusnya kaget bukan kepalang, tapi tubuhnya tak mengizinkannya untuk merespon lebih.

"Dane?" suaranya lemah dan tak berdaya. Ia ingin mengucapkan beberapa hal lagi, tapi Dane menginterupsinya.

"Jangan paksakan dirimu, Steven. Jernihkan dulu pikiranmu, okay?"

Steven mengangguk. Dan ketika ia memandang wanita asing yang berdiri di sebelah Dane, rasa penasarannya sudah hilang.

"Di mana ini?" tanyanya lemah. Ia merasa tak berdaya. Darahnya seperti habis terkuras. Tubuhnya lemas dan perutnya lapar.

"Kau di rumah sakit, Steven," kata Layla sambil terus mengusap lengannya dengan lembut. "Seseorang menembakmu, dan kau kehilangan banyak darah."

Oh, tentu. Ia ingat kejadian itu sekarang. Ia ingat semua rasa sakitnya. Steven ingin menanyakan lebih banyak hal lagi, tapi ia tak tahu harus mulai dari mana. Ada sebuah nama yang tersangkut di tenggorokannya, tapi ia lupa. Dan seharusnya ia tak lupa dengan nama itu. Tapi kenapa ia bisa lupa? Apa yang salah dengannya?

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang