31. It Always that Worm

201 33 12
                                    

Sempat mengira Steven merahasiakan skandal mereka karena alasan tertentu, Jake akhirnya sadar bahwa kenyataannya tidak seperti itu.

Malam itu ia diam-diam menyusup ke dalam Headspace untuk menguping Marc dan Steven yang tidur sekamar. Sampai sekarang, Jake masih tak punya muka untuk berani menghadapi Steven lagi, jadi meng-intel adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.

Percakapan Marc dan Steven terdengar remang-remang, karena tembok Headspace membentenginya dengan cukup serius. Namun untungnya, Jake masih bisa menangkap beberapa poin yang sedang mereka bincangkan.

Awalnya mereka terdengar membicarakan Layla. Baik itu Marc maupun Steven sepertinya merasa bersalah karena mereka tak mampu menyambut Layla sebagaimana mestinya, padahal keduanya amat merindukan wanita itu. Tapi mereka masih punya kesempatan untuk memperbaikinya, dan itu besok.

Jake meregangkan lehernya, menjauhkan telinganya dari tembok. Topik tentang Layla memang tak pernah begitu menarik baginya. Ia dengan sabar menunggu percakapan itu beralih ke suatu bagian yang bisa menjawab semua kebingungannya.

Akhirnya setelah beberapa menit, Jake mendengar Marc mulai bicara serius dengan Steven, tentang perasaannya. Steven seketika seolah-olah lenyap dari ruangan itu. Marc seakan-akan bicara dengan angin. Ia mencoba sebisanya untuk membujuk Steven supaya mau jujur, supaya mau mengatakan ada masalah apa sebenarnya.

Tapi Steven tak memberi jawaban. Jake tidak melihatnya, tapi ia bisa merasakan pria itu berusaha berkelit dari pertanyaan Marc. Semua tebakan Marc, mulai dari apakah ia kesal karena dicampakkan selama sepekan, sampai ke masalah museum yang terbakar, Dane yang menghilang... semuanya dibantah oleh Steven. Jake makin bingung. Kenapa dia tak mau bilang? Kenapa dia tak mau jujur?

"Kumohon, Steven. Jika bukan karena aku atau semua itu, lalu karena apa?"

"Jezz, Marc! Aku bilang aku baik-baik saja. Bisakah kita tidur saja? Besok Layla akan datang lagi. Aku tak ingin mood-ku hancur karena kau terus-terusan menggangguku dengan pertanyaan itu."

"Tidak, Steven... kau berbohong. Kita berdua tahu kalau kau tak pandai berbohong. Please, just tell me. Apa yang sebenarnya mengganggu-"

"Marc...."

"Aku tak bisa diam saja saat orang yang kucintai...."

"Marc...!"

"Katakan saja. Apa ini karena Jake? A-apa dia macam-macam padamu? Dia mengancammu? A... atau dia menyakiti perasaanmu? A-atau-"

"What? Tentu saja tida-"

"Aku tidak melihat kalian bicara semenjak aku kembali. Pasti ada sesuatu-"

"Marc...."

"Dia pasti mengancammu 'kan, dan menyuruhmu tutup mulut?"

"Marc, hentikan!"

"Jangan dengarkan apa katanya. Aku akan menghajarnya kalau kau dia sampai berani menyakitimu."

"Kumohon jangan!"

Hening.

Tenggorokan Jake tercekat dari balik dinding. Suara Steven terdengar bergetar di telinganya. Ia mendengar napas Marc mulai memburu. Tidak stabil. Tersulut.

"Apa maksud-"

"Kumohon jangan bicara lagi!" potong Steven segera, seolah-olah ia merampungkan kalimatnya yang sebelumnya, padahal itu cuma imbuhan yang ia pikirkan secara spontan. Suaranya tegas. Tapi Jake bisa mendengar ada retakan halus pada nada bunyinya. "Aku... aku baik-baik saja. Aku tak ada masalah apapun dengan Jake. Kami.... Begini, Jake juga sepertimu. Dia pikir suasana hatiku sedang kacau, itu sebabnya dia menjaga jarak."

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang