Marc menggedor-gedor pintu kamar Steven dengan putus asa. "Steven, please, open the door." Tidak ada jawaban dari dalam. Seolah-olah tidak ada orang di dalam sana. "Tadi itu tidak seperti dugaanmu, buddy. Kumohon, biarkan aku menjelaskannya."
Setelah beberapa menit, Marc akhirnya menyerah juga. Ia beranjak ke ruang pandang dengan langkah gontai. Bodoh sekali ia mengira bahwa Steven memberi isyarat padanya. Dengan Steven menunjukkan rasa cemburu yang seperti itu, membuat Marc dengan polosnya mengira bahwa Steven memiliki perasaan padanya. Perasaan yang sama seperti yang Marc miliki terhadap Steven. Tapi setelah melihat Steven gemetaran, dengan matanya yang diliputi ketakutan, serta setelah mengingat aksinya yang terlalu melewati batas, perasaan Marc kini menjadi campur aduk antara khawatir, takut, dan merasa bersalah. Ia takut setelah ini Steven akan menjaga jarak darinya.
"Cemburu bukan berarti dia menyukaimu, tolol. Dia mungkin cuma merasa posisinya terancam, sebagai sahabatmu," Marc mengumpati dirinya sendiri sambil terus menyeret kakinya dengan susah payah.
Setelah memasuki ruang pandang, Marc semakin kehilangan energi dan semangatnya karena melihat banyak sekali truk-truk dan belasan jasad bersimbah darah dari balik jendela raksasa itu.
"Oh, Jake, are you kidding me?" katanya lemas. Ia heran, rasanya baru lima detik yang lalu Jake memberi pelajaran kepada anak-anak remaja itu. Tapi sekarang, kenapa misinya tiba-tiba sudah beres saja? Berapa lama ia berada di depan pintu kamar Steven?
"Seingatku ini tidak melanggar kesepakatan kita, Marc." Dari luar, Jake mengingatkan sebelum Marc mulai mengoceh. Tapi selanjutnya, ia tidak mendengar apa-apa lagi. Tidak seperti biasanya.
Hening selama beberapa saat.
"Wait, are you crying?" Jake bertanya setelah mendengar suara isakan halus. Marc tidak menjawab dari dalam sana. "Yang benar saja, Marc. Tidak usah berlebihan. Orang-orang ini, mereka adalah penjah—" Jake menghentikan ucapannya karena tiba-tiba sadar kalau Marc tidak sedang menangis karena melihat perbuatannya. "Oh... oke, aku mengerti sekarang. Ini bukan soal aku... tapi Steven, bukan?" tanyanya.
Marc tidak menjawab.
"Apa yang terjadi, amigo?"
Marc menarik ingusnya yang hendak keluar. "Bukan urusanmu, Jake."
Kemudian, Jake tidak merasakan keberadaan Marc lagi.
***
Setelah bunyi ketukan pintu itu berakhir, Steven tetap meringkuk di ranjangnya, menyembunyikan dirinya di balik selimut yang berlapis-lapis. Ia tak bisa mengeluarkan kejadian yang tadi dari dalam kepalanya. Kejadian ketika Marc membatasi gerakannya di dinding, ketika Marc menyentuh pipinya dengan tangan itu, tangan yang terasa kasar namun di saat yang bersamaan terasa sangat lembut, serta ketika Marc ingin menyentuh bibirnya dengan menggunakan bibir miliknya.
Di sisi lain, ada perasaan itu. Perasaan yang selama ini Steven tak tahu apa artinya. Ia mungkin bisa dengan mudah mengenali perasaan cemburu yang menghinggapinya ketika melihat Steven dan Jake menghabiskan waktu bersama, tapi perasaan yang ini... yang selalu memberikan serangan pada tubuhnya dengan cara yang aneh, masih menjadi misteri. Pada saat kejadian tadi, perasaan itu kembali menggelayuti Steven. Ia ingat betul bahwa perasaan itu telah mempengaruhinya, bahwa ketika Marc ingin menciumnya, Steven juga menginginkannya. He want it so bad. Dia sangat ingin Marc menguasainya, ia ingin Marc mengendalikannya. Tapi kemudian, sistem pertahanan tubuhnya tiba-tiba aktif, lalu mendepak perasaan yang aneh itu secara paksa agar keluar dari tubuhnya. Steven merasa diselamatkan, tapi di saat yang bersamaan, ia merasa kecewa. Sangat kecewa. Karena ciuman itu batal terjadi.
Steven jadi semakin bingung dengan apa yang sebenarnya salah pada dirinya. Apa selama ini, ia telah jatuh cinta pada Marc? Tapi... bagaimana bisa? Bagaimana mungkin itu terjadi? Itu seharusnya mustahil. Nonsense. Tapi bagaimanapun... semua petunjuk, serta segala yang ia rasakan, jelas-jelas mengarah ke sana. Bahwa ia, Steven Grant, telah jatuh cinta pada rekan satu kepalanya sendiri, Marc Spector. Dan itu sudah terjadi sejak lama, namun ia menyangkalnya. Karena itu tidak masuk akal.
Namun sekeras apapun Steven memikirkan semua ketidakmasukakalan itu, ia tetap tak bisa menemukan jawaban konkrit. Satu hal yang pasti, ia kini telah sadar bahwa perasaan cemburunya pada Jake tidak muncul karena soal persahabatan maupun persaudaraan belaka. Ia cemburu karena takut Marc direnggut darinya. Ia tak rela hal itu terjadi, meskipun Jake cuma mengambil sepotong kecil Marc darinya. Ia benar-benar tak rela. Tapi, Marc sudah memberitahunya kalau tak akan ada yang bisa menggantikan Steven sebagai favourite person-nya, bukan? Jadi, untuk apa Steven khawatir lagi?
Satu-satunya yang harus dikhawatirkan adalah perasaan itu. Harus ia apakan sekarang? Logika Steven menyatakan bahwa perasaan itu salah. Fana. Tidak masuk akal. Tidak logis. Dan yang paling penting: berbahaya. Logikanya berkata bahwa perasaan itu adalah suatu kutukan yang tidak boleh dilepaskan. Bahwa itu hanya akan menimbulkan penderitaan di masa depan. Bukan hanya untuk dirinya, tapi itu pasti akan berdampak pada Marc juga.
Tapi di sisi lain, hati Steven menyatakan bahwa itu hanyalah cinta. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Itu hanyalah perasaan yang wajar dialami oleh setiap manusia. Cinta yang murni, yang harusnya diikuti saja sesuai keinginan hati, tanpa harus mempedulikan logika. Tanpa harus mempedulikan dunia dan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya. Steven harusnya hanya perlu mengikutinya.
Sungguh, ini adalah perkara yang berat bagi Steven. Ia tak tahu harus memihak siapa, jadi ia lebih memilih untuk menangis saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...