Hubungan Jake dan Steven berkembang pesat dalam waktu yang relatif singkat.
Tidak seperti Marc yang dingin dan dipenuhi kecurigaan, Steven berkali-kali lipat jauh lebih menyenangkan jika diajak berkomunikasi. Andai saja Jake memberikan kesan yang baik sejak awal, sekarang mungkin ia sudah menjadi salah satu orang terpenting dalam hidup Steven. Tapi ia tidak perlu terburu-buru untuk sampai ke sana. Sekarang baru lima hari setelah perbincangan pertamanya dengan Steven, tapi Jake sudah merasakan perubahan yang cukup besar. Steven kini sudah menganggapnya sebagai teman. Ia juga sudah lebih menghargai keberadaan Jake sekarang. Kalau Marc kadang-kadang masih menganggap Jake tak kasat mata, Steven tidak begitu.
Sore itu, setelah jam kerjanya habis, Steven berjalan pulang sambil memikirkan makan malam apa yang cocok untuk disantap. Ia bersikeras tak ingin Marc mengambil alih tubuh ketika dalam perjalanan, karena ia merasa perlu berolahraga setelah seharian duduk di meja inventaris. Marc mengalah dengan terpaksa, dan akhirnya cuma memonitori Steven saja dari ruang pandang, mengarahkannya untuk jalan hati-hati, seolah-olah Steven adalah balita yang tak tahu bagaimana caranya menggunakan kaki.
"Kau sungguh tak ingin makan sesuatu, love?" Steven terus memastikan, tapi Marc bersikeras bahwa ia tidak sedang mood untuk makan.
Tak berselang lama, Jake masuk ke ruang pandang setelah seharian mendekam di dalam kamar. Ia merasa bosan dan ingin melihat keluar sebentar. Steven langsung merasakan kehadirannya.
"Bagaimana denganmu, Jake? Kau mau makan sesuatu, mate?" tanya Steven.
Jake yang baru sampai di sana tentu bingung ketika langsung dihadapkan dengan pertanyaan itu. Ia menatap Marc yang tengah fokus melihati langkah Steven di luar sana.
"Steven menawarimu makan malam. Jangan abaikan pertanyaannya," kata Marc tanpa melepaskan pandangannya dari luar.
"Kau menanyakan aku?" tanya Jake kaget. Ia setengah tak percaya bahwa Steven kini peduli sejauh itu padanya.
"Ya," jawab Steven singkat. Ia sampai di halte dan langsung menaiki bus yang sudah menunggu di sana. "Kami sedang bingung mau makan apa. Jadi, kalau kau ingin makan sesuatu, bilang saja. Aku akan mencarikannya untukmu."
"Oh...!" Suasana hati Jake seketika meroket setelah mendengar kata-kata itu. Ia tersenyum, menatap Steven melalui pantulan kaca bus dengan penuh rasa sayang.
"Jadi Jake... apa makanan favoritmu?" tanya Steven dengan penuh semangat.
"Umm... aku suka steak, kalau kau tidak keberatan."
Steven terdiam di luar sana.
"Steven itu seorang vegan, Jake," suara Marc memecahkan suasana. "Aku sarankan jangan daging."
"Ohh...."
"No... it's okay," sergah Steven dengan segera. "Lagipula, bukan aku yang akan memakannya, Marc. Jadi, tidak apa-apa."
"Terima kasih Steven," ujar Jake dengan penuh ketulusan.
Steven menghela napas panjang. "Steak...," katanya seraya memandang kaca bus, menatap Jake dengan mata seperti menerawang ke belakang. "Aku jadi ingat kencan pertamaku."
***
Jake tidak ingat kapan persisnya tubuh itu beralih padanya. Ia tak terlalu memusingkannya, karena yang pertama kali jadi masalah adalah perutnya yang keroncongan. Jake bangkit dari ranjang, kemudian meregangkan badannya yang hampir tak bertenaga itu. Setelah menyadari bahwa malam sudah cukup tinggi, ia pun segera menuju dapur, mengeluarkan steak yang sudah dibelikan Steven dari dalam penghangat, kemudian makan. Sudah lama ia tak makan daging sapi. Steak yang dibelikan oleh Steven benar-benar enak. Jake melahapnya dengan sangat kalap.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romantizm"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...