Setelah resmi menjalin hubungan asmara, Marc dan Steven tak pernah berniat untuk menyembunyikan status mereka dari Jake. Namun di saat yang bersamaan, mereka juga tak pernah mengumumkannya secara resmi. Jake dipaksa untuk mengasumsikan sendiri. Tapi ia tak perlu repot-repot melakukannya, karena ia memang sudah tahu semuanya.
Jake juga tahu, bahwa Marc dan Steven kini punya kebiasaan baru setiap pagi. Sebelum Steven berangkat kerja, Marc akan menariknya ke belakang sebentar, menyeret Steven menuju kamarnya, kemudian memberinya ciuman ringan pada bibirnya. Padahal Marc tahu, hal itu hanya akan menghambat Steven untuk pergi bekerja. Steven sangat menyukai ciuman yang rasanya manis itu, sehinga ia jadi malas pergi dan ingin bermanja-manjaan saja dengan Marc. Untungnya Marc bisa mengatasi itu. Kalau tak bisa, tak mungkin ia akan membuat Steven melakukan itu setiap pagi.
Jake hanya bisa makan hati setiap hari. Ia dipaksa tegar dan bersikap biasa saja ketika mengetahui hal itu terjadi. Hampir dua pekan, keberadaannya di flat maupun di Headspace tak ubahnya seperti obat nyamuk. Marc dan Steven benar-benar sangat keterlaluan kalau sedang bermesra-mesraan. Dunia terasa milik berdua saja. Jake sering diperlakukan seperti makhluk astral yang keberadaannya tak kasat mata.
Namun pagi itu, Marc tiba-tiba mengetuk pintu kamar Jake dan ingin memberitahunya sesuatu.
"Aku diterima kerja sebagai bodyguard di sebuah klub malam setiap akhir pekan," kata Marc.
"Akhir pekan? Jadi maksudmu... malam ini?" tanya Jake, memperjelas.
Marc mengangguk sambil menatapnya tajam. "Kau tahu 'kan apa artinya itu?"
Jake tidak menjawab.
"Itu artinya aku terpaksa harus meninggalkan Steven di sini bersamamu, Jake."
Jake terdiam sebentar, kemudian mengangguk perlahan.
"Kumohon jangan macam-macam padanya."
Jake merenung selama beberapa saat. Hatinya terasa tertusuk jarum. Ia akhirnya mengangkat tangan kanannya, menyatukan ujung ibu jarinya dengan kepala jari telunjuknya. "Oke. Itu gampang," katanya singkat, seraya menutup pintu, tapi Marc menahannya.
"Dengar, Jake... mungkin sekarang sudah saatnya kau mulai bicara pada Steven. Minta maaflah padanya soal kejadian hari itu."
Jake terpana, kemudian menatap Marc ragu-ragu. "Bagaimana dengan peraturan yang kaubuat?"
Marc mendengus. "Aku memberimu kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Sekarang semuanya terserah padamu."
Jake merenung lagi. Ini adalalah kesempatan yang tak jadi ia ambil waktu itu. Sekarang kesempatan itu datang lagi, bahkan dengan legalitas langsung dari Marc. Kapan lagi ia bisa mendapatkan kesempatan langka semacam ini kalau bukan sekarang?
"Baiklah, akan kucoba," katanya pada akhirnya.
Sorenya, Jake mondar-mandir di kamarnya, pusing menyusun kata-kata untuk diucapkan kepada Steven. Terlalu banyak hal yang menguasai pikirannya. Asumsinya saat ini adalah Steven mengalami trauma terhadapnya, sehingga jika ingin bicara dengan pria idamannya itu, maka Jake benar-benar harus membuka percakapan dengan suasana yang santai dan menyenangkan, agar Steven tidak ketakutan ketika berhadapan dengannya. Tapi sayang, Jake tak bisa menemukan cara yang tepat untuk melakukan itu, karena pengalamannya dalam bersosialisasi sangat minim. Ia sampai tak sadar bahwa malam tiba-tiba sudah menyergap. Jake tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya, siap beraksi tanpa persiapan sama sekali.
Baru saja membuka pintu, Jake langsung dihadapkan dengan Steven yang tengah berjalan santai di lorong. Ia sepertinya habis dari ruang pandang, dan hendak menuju kamarnya. Steven awalnya terkesiap melihat Jake muncul dari balik pintu secara tiba-tiba, tapi setelahnya ia berusaha untuk tetap tenang. Ia menundukkan kepalanya dan melewati Jake dengan kikuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...