Matahari sudah tergelincir di barat daya ketika Marc keluar dari pintu flatnya. Ia tergopoh-gopoh ke stasiun, mengejar bis agar tidak ditinggal. Ia mau ke pasar. Layla akan datang lagi malam ini, dan bahan makanan sudah habis, jadi tak ada yang bisa dimasak.
Baik itu Marc maupun Steven, keduanya telah bertekad ingin menyambut wanita berdarah arab itu dengan hidangan rumahan alih-alih mengajaknya ke resto. Ini juga sekaligus menjadi kesempatan bagi mereka untuk menebus kesalahan kemarin siang.
Steven berusaha keras menemani Marc dari ruang pandang. Ia tahu ia telah berjanji akan menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja. Ia sungguh ingin melakukannya. Namun kejadian tadi malam membuatnya tak bisa berhenti melamun. Kejadian di mana ia tak sengaja menguping pembicaraan Jake dengan Khonsu.
Ia tak ingin Marc sampai mendapati kegelisahannya itu. Ia tak mau membuatnya tambah khawatir. Maka di tengah-tengah berbelanja sayur, Steven izin undur diri, pamit ke kamar. Alasannya mulus. Katanya ia tak ingin Marc terlihat sinting di tengah-tengah keramaian karena berbicara sendiri.
"Kita sudah buat list belanjaannya, jadi kau bisa menanganinya sendiri. Aku akan menemanimu saat masak nanti. Panggil saja aku jika sudah sampai rumah, okay?"
Marc mengiyakan. Ia nampak tak menyadari sikap aneh Steven, sehingga ia tak masalah dengan ide itu. Steven pun bisa tenang. Ia hanya perlu menjernihkan pikirannya, setidaknya setengah jam. Ia perlu menyendiri untuk mengosongkan pikirannya. Agar tidak kepikiran soal Jake lagi. Agar bisa layak untuk Marc lagi.
Tapi semuanya malah tambah parah hanya dalam sekejap. Jake tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya ketika Steven melintasi lorong. Ini benar-benar buruk. Perasaannya mulai berkecamuk. Jake seolah-olah sudah menantinya sejak lama di sana, dan hal itu membuat Steven mulai ketakutan. Potongan-potongan mimpi buruk mulai menyerangnya tanpa ampun, layaknya flash kamera wartawan yang menggerubungi selebritas seperti laron. Terlebih lagi, ini adalah pertama kalinya ia berhadapan dengan Jake setelah kejadian malam itu. Berhadapan secara langsung. Mata ke mata.
Steven berusaha menenangkan diri dengan memainkan lengan bajunya, tapi itu tak berhasil. Ia melangkah mundur, tapi Jake melangkah maju mendekatinya. Hal itu membuat Steven ingin lari ke ruang pandang, memanggil Marc agar menyelamatkannya. Tapi ia tak boleh melakukan itu. Marc tak boleh tahu soal ini.
"Steven, aku ingin bicara," kata Jake dengan suara lirih dan putus asa.
"Tinggalkan aku sendiri!" kata Steven dengan cepat. Entah ia ter-distract dengan suaranya sendiri atau apa, yang pasti ia tak sadar kalau ia mengatakan itu sambil berlari ke depan, mencoba melewati Jake seolah-olah ia adalah asap yang mudah ditembus. Akibatnya, ketika Jake menghentikannya dengan meraih lengannya, Steven berteriak ketakutan seperti orang kemasukan setan.
"Tidak tidak tidak...," kata Jake dengan panik. "Tenanglah, Steven, aku tak akan menyakitimu, kumohon...."
"No! Don't touch me! Let me go!"
"Kumohon... aku ingin menjelaskan semuanya."
"Aku bilang, LEPASKAN!" pekik Steven sambil menarik lengannya dengan paksa sampai tulangnya bergeser dan berbunyi. Ia menatap Jake dengan galak, tapi itu hanyalah pengalihan. Yang terjadi sebenarnya adalah, ia ketakutan. Dan seiring membesarnya ketakutan itu, ia melangkah mundur, ingin segera kabur. "Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku tak percaya padamu."
Kata-kata itu nampaknya sukses menyakiti Jake dengan cara yang sangat menakjubkan. Ia tak melakukan apa-apa saat melihat Steven mulai berjalan mundur menuju kamarnya. Barulah setelah Steven mulai berbalik memunggunginya, ia bisa bicara.
"Kenapa kau tak mengatakan kebenarannya pada Marc?" semburnya. Langkah Steven melambat sebelum akhirnya berhenti.
Jake menghela napas. Sudah susah payah ia menyiapkan mental untuk berani menghadapi Steven lagi. Ia sudah kehilangan segalanya sekarang, tapi ia masih butuh penjelasan. Ia tak bisa terus-terusan berasumsi sendiri soal sikap Steven padanya. Ia ingin mendengar semuanya langsung dari mulut pria itu, agar ia bisa tenang. Agar ia tak berharap lagi. Agar ia berhenti berpikir bahwa Steven masih menyimpan sedikit kepedulian untuknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...