24. Desperate Murderer

331 49 12
                                    

Jake terkadang melanggar prinsipnya sendiri dengan cara yang tidak masuk akal.

Tujuan Jake untuk memblokir Marc dan Steven ketika beraksi malam itu adalah agar mereka tak muntab sewaktu ia melakukan genosida kecil-kecilan. Bayangkan jika Marc melihat semuanya, ia pasti akan langsung meloncat ke depan dan semuanya jadi kacau. Karena memang, itu melanggar kesepakatan yang telah mereka buat. Lagipula, sewaktu izin pada Marc, Jake sudah terlanjur mengatakan bahwa targetnya cuma satu orang.

Tapi sebenarnya, Jake seharusnya bisa mengatasi Marc. Karena sewaktu jadi Moon Knight, ia berada dalam mode terkuat sehingga Marc tak akan punya kesempatan untuk mengambil tubuhnya. Paling, ia hanya harus menyiapkan telinganya untuk menyambut rentetan sumpah serapah. Dan jujur saja, bagi Jake itu adalah hal yang mudah.

Bagian tersulitnya adalah Steven. Always Steven. Bisa dibilang, alasan utama Jake melakukan itu semua adalah karena Steven.

Jake sudah susah payah untuk membangun hubungan yang baik dengan Steven. Dari yang awalnya Steven takut padanya, kemudian berubah jadi benci, sampai akhirnya mereka bisa berteman dan menjadi sahabat dekat. Jake tak mau menghancurkan itu semua hanya karena satu perbuatan bodoh.

Namun, sama seperti tindakan bodohnya di malam itu, Jake mengungkapkan semua perbuatannya kepada Steven dengan cuma-cuma, tanpa memikirkan risikonya. Memang terasa tidak masuk akal, tapi begitulah orang kalau sudah jatuh cinta. Apalagi, Steven memberikan kesan kalau ia tak akan marah asalkan Jake mau jujur.

Steven menatapnya dari sofa dengan penuh perhatian. Lukisan matahari yang terpajang di tembok sebelahnya seolah-olah mengeluarkan cahaya temaram, menyinari pipi Steven yang berminyak sehingga membuatnya nampak licin. Sangat cantik. Jake bersenandung pelan, sementara otaknya jumpalitan mengkontruksi kata-kata untuk diucapkan.

"Kau tak usah memaksakan diri jika belum siap, mate," ujar Steven, mematahkan keheningan. "Aku sudah bilang, aku datang ke sini bukan untuk memaksamu-"

"Tidak tidak tidak.... Aku... aku harus mengatakannya padamu, Steven. Aku hanya tak tahu harus memulainya dari mana."

Mendengar itu, Steven tersenyum tipis. Kini, cahaya itu bergeser ke bawah hidungnya, membuat bibirnya nampak lebih merah jambu daripada biasanya, namun tetap kalem. Terlihat sangat lembut apabila disentuh.

"It's okay, mate. Take your time."

Adalah sebuah kesalahan karena telah mengatakan itu. Jake menelan ucapan Steven mentah-mentah. Terlalu mentah. Ia benar-benar mengambil waktu sebanyak mungkin. Terlalu banyak dari yang Steven harapkan.

"Pertama-tama... kebakaran itu tak ada kaitannya denganku, Steven," Jake memulai setelah perenungan panjang. Ia sendiri tak tahu kenapa ia memulainya dari sana. Padahal, peristiwa kebakaran itu tak ada sangkut pautnya dengan aksinya malam itu. Tapi, mumpung Jake tahu kalau Steven dan Marc memusingkan masalah itu sepanjang pagi ini, maka mungkin tidak terlalu buruk kalau memulainya dari sana.

Buktinya, Steven nampak serius mendengarkannya.

"Aku cuma jadi saksi mata."

Mata Steven terlihat melebar. "Jadi, kau tahu apa penyebabnya?"

Jake mengangguk samar. "Teman satu museum-mu, Steven. Si tour guide itu. Dia ada di sana."

Mata itu nampak semakin lebar. Kelopaknya sampai mau robek. "Dane?!"

"Ya," kata Jake. "Dia-"

"Tunggu! Jadi maksudmu, Dane adalah pelakunya?" tanya Steven tak percaya. "Itu tidak mungkin, Jake! Dia orang baik," lanjutnya.

"Aku tidak bilang dia pelakunya," kata Jake dengan lembut. "Hanya saja, aku memang melihatnya ada di sana. Dia memegang pedang dan ada seorang wanita bersamanya."

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang