Setelah pencarian kecil-kecilan selama 2 hari, Dane Whiteman masih belum bisa ditemukan. Steven telah berhasil mengetahui alamat rumahnya, tapi ia tak bisa menemukannya di sana. Steven juga sudah mendatangi beberapa tempat di mana Dane mungkin bisa ditemukan, tapi tetap saja tidak ada hasil. Akhirnya, dengan berat hati, ia menyerah. Marc selalu meyakinkannya bahwa Dane mungkin sudah kembali ke planet asalnya, tapi hal itu sangat sulit untuk diterima begitu saja.
Selain itu, ada perihal lain yang harus mereka hadapi sehingga fokus mereka tak bisa sepenuhnya dicurahkan untuk mencari Dane. Ya, benar sekali. Steven sekarang pengangguran, dan hal itu tentu saja menjadi masalah besar.
Terbakarnya museum itu benar-benar membuat Marc dan Steven harus memikirkan rencana jangka panjang. Pekerjaan Marc sebagai bodyguard di klub malam setiap akhir pekan tentunya tak bisa menutupi kebutuhan mereka, mengingat upahnya yang tidak seberapa. Adapun Jake... entahlah. Ia mungkin punya banyak uang haram atau semacamnya, tapi baik Marc maupun Steven sama sekali tak kepikiran untuk menanyakannya. Jake juga punya limosin, jadi ia seharusnya bisa menggantikan posisi Steven untuk sementara dan melakukan keahliannya sebagai sopir taksi. Namun mengingat apa yang telah dilakukannya belakangan ini, Marc memutuskan untuk mem-banned-nya dari hak memakai tubuh.
Akhirnya, setelah bujukan yang panjang, Steven pun mau memikirkan ulang tentang keinginan Marc yang ingin menjadi pengawal dalam pengiriman senjata api ilegal ke Amerika. Padahal awalnya, ia sama sekali tak mau membuka jalan bagi Marc untuk mengambil pekerjaan itu, tapi setelah banyaknya pertimbangan dan demi kebaikan mereka sendiri, Steven akhirnya terpaksa setuju.
"Cuma sepuluh hari, babe, dan semuanya akan kembali seperti semula," kata Marc penuh semangat, sembari memberi ciuman singkat pada bibir Steven yang cemberut. "Kita akan menghabiskan waktu di kapal seperti Jack dan Rose. Kita bisa melakukan adegan di dek itu juga kalau kau mau," bujuknya seraya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, meniru salah satu adegan ikonik yang ada dalam film Titanic.
Bujukan Marc yang konyol itu berhasil membuat garis bibir Steven perlahan-lahan melunak dan melengkung ke atas, meskipun aura cemberut masih tak sepenuhnya hilang dari wajahnya. "Tapi kau kan sibuk. Pasti tak punya waktu untukku," pancingnya dengan suara yang dibuat-buat sebal.
Marc tersenyum dan mengangkat tangannya, membenarkan ikal Steven yang terjatuh di keningnya, kemudian mengelus pipinya dengan lembut. "Aku akan mencuri kesempatan, sayang. Asal kau tahu, aku cukup pandai dalam hal itu."
"Ya, cukup pandai," Steven memberi penekanan pada kedua kata itu. Marc jadi gemas. Jari-jarinya tak bisa menahan diri untuk mencubit kedua pipi Steven yang chubby bukan main.
"Sudah, sudah, kembalilah ke sana," Steven tertawa geli sambil berusaha melepaskan dirinya dari pegangan Marc. "Kau sudah cukup lama meninggalkan tubuh kita tanpa pilot, Marc. Itu berbahaya."
Marc seolah-olah tak peduli akan hal itu. "Baiklah, tapi katakan dulu padaku kalau kau tak keberatan dengan semua ini," ia memelas. "Ayolah, sayangku....percayalah padaku kali ini."
Steven mendongak, menatap Marc lekat-lekat. Senyum temaram terpancar dari bibirnya. Ia berjinjit sedikit, kemudian dengan mudahnya memberi ciuman pada bibir Marc yang tandus, membasahinya dengan pelan dan lembut serta penuh perasaan. "Ya, aku tidak keberatan," katanya setelah mengakhiri ciuman yang membuat Marc malah makin haus. "Aku akan ikut ke mana pun kau pergi, Marc."
Kata-kata itu terdengar sangat meyakinkan. Tanpa ada keterpaksaan sedikit pun. Marc merasa bahagia mendengarnya.
"Jake juga mungkin butuh suasana baru," Steven mengimbuhkan.
Napas Marc seketika jadi berat ketika mendengar nama itu disebutkan. Setelah kejadian hari itu, hubungannya dengan Jake masih belum membaik. Ia sudah mengetahui semua cerita Jake dengan detail, berkat usahanya dalam menguping. Meskipun sebenarnya, kebanyakan informasi itu ia ketahui dari Steven. Hanya karena bujukan Steven lah ia mau menerima alasan Jake melakukan itu semua, meskipun Marc sebenarnya tak sudi mentoleransinya begitu saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...