22. Brain Washed

326 53 9
                                    

"Tunggu? Bukankah itu cuma dua blok dari museum?" Marc memastikan. Jake membenarkan dengan mengangguk di depan kaca limosin. Ia segera naik ke bangku kemudi, memasang sabuk pengaman, kemudian sat set sat set, sampai akhirnya kendaraan mahal itu pun melipir dengan laju di jalanan yang lengang, menuju ke lokasi pembantaian.

"Serius, Jake? Kau mau membantai orang di tengah-tengah kota?" tanya Marc tak percaya. Suara deru limosin yang sangat kencang membuatnya harus berteriak agar Jake bisa mendengarnya.  

"Apa masalahnya?"

"Kau bilang penjaganya bersenjata, 'kan? Kalau sampai terjadi tembakan, itu pasti akan menarik perhatian warga sekitar."

"Tenanglah, Marc. Aku pandai menyelinap. Tidak akan terjadi keributan besar."

Sementara mulutnya terus berdebat dengan Marc, otaknya tak bisa berhenti memikirkan Steven. Saat ini, Steven tengah berdiri di samping Marc, ikut mengawasinya dari ruang pandang, tapi tak sepatah kata pun ia bicara. Jake jadi khawatir, takut Steven marah padanya karena percakapan mereka tadi.

Jake memarkir limosinnya di sebuah gang yang sepi, satu blok dari lokasi targetnya. Setelah mematikan mesin, ia segera mengambil ranselnya, lalu memanjat gedung. Sesampainya di atap, ia berlarian dengan lincah, melompat dari gedung satu ke gedung yang lain dengan tangkas, persis seperti tupai. Jake berhenti di sebuah atap rumah yang terletak tepat di samping tanah sang jutawan. Segera ia menggeledah ranselnya, kemudian mengambil teropong, melakukan pengintaian sebelum benar-benar beraksi.

"Maafkan aku, guys. Khonsu seharusnya tiba sebentar lagi. Berdasarkan kesepakatan kita, kalian boleh mengawasiku, tapi kalian tak berhak ikut campur dalam percakapanku dengan Khonsu," kata Jake setelah ia selesai meneropong wilayah targetnya. "Dan ya... kalian juga tahu 'kan bahwa Khonsu tak mau berurusan kalian? Jadi... dengan senang hati... aku harus memblokir jaringan komunikasi kita."

Marc terdengar menghela napas, sedikit merasa kecewa. "Ayolah... bahkan kami tak boleh sekadar menyapa teman lama? Barangkali Khonsu merindukanku."

"Tidak," jawab Jake dengan tegas. Ia masih menunggu Steven angkat bicara, atau sekadar mengatakan sesuatu, meskipun cuma sepatah kata. Tapi sayangnya, Jake tak menemukan tanda-tanda itu akan terjadi. Ia pun tak bisa menahan dirinya.

"Steven? Ayolah, jangan lakukan ini padaku."

Tak ada jawaban. Hanya ada Marc yang bergumam kebingungan di dalam sana. Ia melirik Steven dan memandang keluar secara bergantian. "Melakukan apa? Memangnya apa yang Steven lakukan padamu?"

Jake tidak menghiraukan pertanyaan itu. Yang ia inginkan hanyalah mendengar suara Steven.

"Jaga dirimu baik-baik, Jake." Suara itu akhirnya terdengar setelah penantian yang terasa sangat panjang. Jake merasa lega, meskipun cara Steven mengucapkan kalimat itu seperti terpaksa. Nada bicaranya terdengar terlalu datar, tidak seperti Steven yang biasanya selalu ekspresif.

Meskipun tidak sepenuhnya puas, Jake dengan terpaksa harus segera memblokir komunikasinya dengan Marc dan Steven. Mereka berdua kini tak bisa mendengar apapun dari luar, hanya bisa melihat. Jake langsung sibuk dengan dirinya. Ia nampak menyiapkan tekad, menepis semua keraguan dan kegelisahan yang sudah beberapa hari belakangan ini selalu membuntutinya. Sampai akhirnya, dua menit kemudian, ia merasakan angin mulai berhembus kencang dan suhu mulai terasa dingin. Lalu, sesuatu seperti hinggap di balik punggungnya. Jake berbalik, dan didapatinya Khonsu sudah berdiri tegak di sana, lengkap dengan tongkat dan paruh besarnya.

"Kenapa kau lama sekali?" Jake mengeluh.

Khonsu mendengus jengkel. "Lama? Aku sudah ada di sini sekitar lima belas menit yang lalu, Jake, tapi kau tidak ada. Tumben sekali kau terlambat. Apa yang menghambatmu?"

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang