17. Canvas

373 60 37
                                    

Jake Lockley sudah terbiasa hidup sendirian. Sejak saat ia diciptakan, sejak saat Marc masih sangat muda, ia sudah menerima kenyataan bahwa posisinya dalam rantai kehidupan ini hanyalah sebatas sebuah kepribadian. Ia bukanlah entitas yang utuh. Ia bahkan enggan untuk mengakui bahwa dirinya adalah manusia sejati. Jake lebih menganggap dirinya sebagai sesuatu yang cacat. Parasit. Penyakit. Itu cukup masuk akal, karena ia memang bukan apa-apa tanpa tubuhnya Marc.

Selama puluhan tahun hidup bersama Marc dan Steven, Jake selalu bersembunyi di dalam kegelapan. Ia tak pernah peduli akan hal yang terjadi di luar sana, kecuali jika ada bahaya yang mengancam tubuh inangnya. Jake sangat ahli dalam membuat kehadirannya tak bisa dirasakan oleh siapapun. Itulah sebabnya, Marc dan Steven tak bisa merasakan keberadaannya selama bertahun-tahun. Selain itu, Jake juga sangat berbakat dalam hal membuat dirinya tak dianggap oleh siapapun. Itulah sebabnya, sejak keberadaannya terbongkar, Marc dan Steven masih saja sering lupa kalau ia ada di situ bersama mereka. Itulah sebabnya, saat ia terkurung di dalam sakorfagus ketika berada di Duat, Marc dan Steven tidak tertarik untuk menghampirinya. Meskipun sudah sangat jelas, bahwa suatu peti yang bergoyang-goyang dengan sendirinya seharusnya menarik untuk didatangi, seperti yang biasa terjadi dalam film-film horor. Tapi, sekali lagi, Jake berbakat dalam membuat kehadirannya tidak diperhitungkan, sehingga Marc dan Steven berlalu begitu saja.

Khonsu adalah satu-satunya entitas yang tak bisa Jake hindari, meskipun dengan semua bakat dan keahlian yang ia miliki. Saat pertama kali bertemu dengan Marc di kuil itu, Khonsu sudah merasakan keberadaan Jake di dalam sana. Burung dengan ukuran paruh yang tak wajar itu bahkan menyapa Jake pada suatu malam yang tenang, saat bulan sedang terang-terangnya, saat Marc sedang tidur kelelahan karena habis menjalankan misi balas dendam. Khonsu menawarkan Jake sebuah kehidupan. Ia mempengaruhi Jake agar tidak menghabiskan seluruh hidupnya untuk bersembunyi.

"Kau mau mendekam di situ selamanya? Menunggu ajal menjemput? Ayolah, Jake... itu membosankan," kata Khonsu kala itu. Seperti kata Steven, Dewa yang satu ini memang sangat licik dan pandai dalam mempengaruhi orang. Jiwa Jake yang rapuh dan kosong dapat dengan mudah dikuasainya. Kehidupan Jake berubah sejak malam itu. Ia bertransformasi menjadi ksatria bayangan yang beraksi di balik layar, untuk memenuhi semua hasrat Khonsu yang tak mampu dipenuhi oleh Marc.

Dari situ, Jake perlahan-lahan mulai memiliki tujuan hidupnya sendiri. Ia jadi memiliki target, hasrat, dan rencana untuk dipenuhi. Ia mulai berani mengambil alih tubuh Marc untuk kepentingannya pribadi, untuk menyenangkan dirinya sendiri. Jika dulu ia hanya ingin menghabiskan waktunya dengan bersemayam dan menunggu malaikat maut mengetuk pintu, sekarang tidak begitu. Ia mulai mencoba untuk mengisi kanvas hidupnya dengan membuat coretan-coretan yang penuh warna. Ia menyopir taksi, dugem di klub malam, bercinta dengan para pelacur, dan membunuh orang-orang yang ditarget Khonsu untuk menciptakan warna-warna tersebut. Namun setelah ratusan purnama, Jake masih belum menemukan warna yang berkesan pada kanvasnya. Yang tercipta hanyalah goresan hitam putih. Yang ia lihat hanyalah coretan-coretan yang tak memiliki arti.

Satu hal yang akhirnya Jake sadari adalah: bahwa ia tak bisa menciptakan warna yang berkesan dalam hidupnya jika ia melakukan semuanya sendirian. Membuat ikatan dengan manusia lain adalah satu-satunya cara yang tersisa untuk dicoba agar bisa menciptakan coretan yang diinginkannya selama ini. Hal itu hanya akan terjadi jika Jake bisa membuka hatinya untuk orang lain. Menjalin pertemanan, persahabatan, atau percintaan adalah tindakan dasar yang harus dilakukannya untuk mencapai itu. Namun sayangnya, Jake tidak dirancang untuk hidup seperti itu. Tak pernah sekalipun ia berniat untuk membangun hubungan dengan siapapun. Meskipun Jake kerap kali berhubungan dengan orang-orang, seperti ketika sedang menyopir, ketika sedang berjudi dengan rekan-rekan klubnya, ataupun ketika berhubungan seksual dengan wanita random yang ia temukan di pinggir empang maupun di kolong jembatan, tetap saja tak pernah ada satu pun ikatan yang dibentuk olehnya. Bahkan, tak perlu jauh-jauh ke luar sana, dengan para alternya sendiri pun Jake tak bisa menjalin ikatan apapun.

Jake tak mau menciptakan komunikasi dengan Marc maupun Steven karena berbagai macam alasan. Selain tidak mau, ia juga sama sekali tak tertarik dengan keduanya. Jake memandang Marc sebagai tipe yang terlalu serius dan temperamental, sementara Steven dipandangnya sebagai seorang idiot yang lugunya kelewatan. Itu mungkin bukan alasan utama mengapa Jake tak mau berhubungan dengan keduanya, namun pandangan itu membuat Jake tambah yakin untuk tidak menjalin apapun dengan mereka. Ia benar-benar merasa tak cocok dengan kedua alternya itu.

Sampai suatu hari, Jake melihat Marc sedang frustasi karena tak kuat memikul semua beban yang ada di pundak dan pikirannya. Jake sudah sering melihat itu terjadi. Dalam keadaan seperti itu, tempramen Marc biasanya tidak terkendali. Kalau tak menghancurkan barang-barang yang ada di sekitarnya, ia biasanya akan berteriak-teriak tak jelas, atau paling tidak... menangis sesenggukan sampai pingsan. Tapi kali ini, Marc sepertinya sudah mencapai batas. Jake melihatnya meraih gunting yang terletak di meja, kemudian menodongkannya ke lehernya sendiri. Sangat jelas, Marc mau bunuh diri. Ia kelihatan sudah tak kuat lagi kali ini. Ia terlihat benar-benar menyerah. Tapi meskipun begitu, Jake memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. Ia tetap menonton dari jauh, menunggu Marc membunuh dirinya sendiri.

Tapi itu akhirnya tidak terjadi, karena Steven tiba-tiba masuk, menarik Marc ke belakang tanpa sadar. Kemudian seperti biasa, Jake melihat Steven kebingungan dengan dirinya sendiri, seperti orang yang kena amnesia. Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri kenapa memegang gunting, kenapa habis menangis, dan kenapa tidak memakai baju. Jake menghela napas melihat ketololan itu. Lalu, ia beralih pada Marc yang sedang tertunduk di belakang sana. Marc yang frustasi, yang kemudian perlahan-lahan mendongak, menonton Steven melakukan berbagai aktivitas kecil dengan tubuhnya. Marc mendengar Steven bersenandung, melihat Steven keluar dan menyapa orang-orang dengan ramah, serta menjalani hidup dengan semangat. Ia nampak sangat hidup dan penuh dengan harapan. Marc yang tadinya putus asa, lambat laun terlihat mulai tersenyum. Nampaknya, ia terhibur dengan setiap langkah kecil yang Steven ambil dalam menjalani kehidupan di luar sana.

Jake tak sadar bahwa dirinya juga tersenyum di dalam sana. Ia tak menyangka, bahwa Steven yang lugu dan nampak seperti orang tolol itu ternyata bisa menyelamatkan Marc hanya dengan menjadi dirinya sendiri—dengan menjadi lugu dan tolol. Steven bahkan melakukannya tanpa sadar, tanpa harus menjadi menjadi superhero berjubah dan berkekuatan kosmik.

Setelah peristiwa itu, Jake akhirnya mulai mengakui bahwa Steven memiliki pengaruh besar bagi kehidupan mereka bertiga. Ia telah menyelamatkan Marc berkali-kali, saat Jake tak bisa melakukannya meskipun cuma sekali. Tak terkira berapa banyaknya utang budi Jake pada Steven karena telah menyelamatkan Marc—yang secara tidak langsung berarti menyelamatkan dirinya juga. Kenyataan itu membuat Jake perlahan-lahan menjadi kagum terhadap si bodoh Steven. Kagum terhadap sifatnya, bahkan terhadap keluguan dan ketololannya.

Jake hanya tidak menduga, bahwa rasa kagumnya itu akan berubah dengan cepat, bertransformasi menjadi rasa yang lain. Rasa yang dapat memberikan coretan bermakna pada kanvasnya.   

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang