Sesampainya di flat, Steven tak bisa berhenti risau. Pasalnya, Marc dan dan Jake tiba-tiba raib tak tahu rimbanya. Mereka seolah-olah menguap, lalu menyublim menjadi udara. Bukan. Bukan udara. Kalau udara masih bisa dirasakan. Yang ini tidak sama sekali.
Berjam-jam Steven duduk di muka cermin, memanggil-manggil Marc dengan putus asa, namun tetap tidak ada jawaban. Steven bisa saja meninggalkan tubuhnya dan masuk ke dalam Headspace, tapi hal itu sangat beresiko. Tubuh itu mungkin tidak akan bertahan jika ditinggal lebih dari sekali dalam waktu kurang dari 5 jam. Tapi di sisi lain, ia begitu khawatir akan keadaan Marc. Begitu khawatirnya ia sampai-sampai ia ketiduran.
"Sttt...Steven...! Steven, Buddy, bangun." Suara itu mengusap telinga Steven dengan halus. Namun setelah sadar bahwa itu suara Marc—tak peduli seberapa lembut dan halusnya itu—Steven terperanjat kaget. Ia langsung berdiri dan melompat.
"Marc!!! Oh God!!Ke mana saja kau?!"
Marc berusaha menenangkan Steven yang panik dan terus bicara.
"Aku memanggilmu seharian...."
"Steven, tenanglah...."
"Berteriak di depan cermin...."
"Steven, please...."
" Aku...aku kira sesuatu terjadi padamu...."
"Aku tak apa-apa, buddy. Kumohon, tenanglah...."
Steven mencoba mengatur napasnya agar ia bisa tenang. Marc mendekatkan dirinya ke cermin, menyentuh permukaan itu kemudian mengusap-usapnya dengan lembut.
"Maaf telah membuatmu khawatir Steven."
"Tentu saja kau harus minta maaf!" Steven meninggikan nadanya, sambil menatap cermin dengan raut wajah yang penuh dengan kekesalan. Tapi Marc tersenyum padanya. Tersenyum dengan lembut.
"Kau sudah makan sesuatu?" Marc bertanya lembut. "Aku merasakan tubuh kita lemas sekali. Seseorang telah terlalu khawatir."
Steven mengabaikannya. Ia berkacak pinggang sambil memasang muka cemberut.
"Baiklah, kau harus makan. Kau ingin makan apa? Aku akan memasakkannya untukmu."
Steven melirik dengan mata kesal. "Apa dia masih di sana?"
"Iya. Dia tidur di kamarnya. Makanya aku merasa aman untuk menemuimu ke sini."
"Ohh," Steven mengangguk-angguk, kemudian mengelus-elus perutnya yang tiba-tiba demo. Raut wajahnya seketika berubah dari kesal menjadi manja. "Mau spagethi...," ia merengut sambil mengerucutkan bibirnya.
Marc terkekeh pelan, kemudian mendorong badannya ke depan. Hanya dalam sekejap, Steven sudah mendapati dirinya ada di ruang pandang.
"Diam di situ, jangan ke mana-mana," Marc mengingatkan Steven. "Kalau dia tiba-tiba muncul, langsung saja ambil alih, mengerti?"
"Hmm!" Steven mengangguk dengan semangat, seperti anak kecil yang tengah gembira karena habis dibelikan mainan oleh ayahnya.
Malam itu, keduanya menghabiskan waktu dengan sepiring spagethi, secangkir teh hangat herbal, dan sepucuk cahaya bulan. Marc menceritakan semua kesepakatan yang telah ia buat dengan Jake. Ia meminta pendapat Steven. Jika kesepakatan-kesepakatan itu ada yang tidak sesuai dengan keinginan Steven, maka Marc akan membicarakannya ulang dengan Jake.
"Sepertinya kau harus memegang tubuh kita selama beberapa hari ke depan, Steven. Aku masih belum bisa memastikan kalau dia aman. Maksudku...kau tahu? Dia itu agak sedikit...rumit."
"Kau yakin kau akan baik-baik saja?" Steven bertanya cemas.
Steven bisa merasakan Marc tersenyum lembut dari dalam sana sambil menatapnya dengan pandangan yang tidak ingin Steven tahu apa artinya. "Aku akan baik-baik saja Steven, selama kau juga baik-baik saja."
Serangan itu tiba-tiba datang lagi, menghunus Steven bersamaan dengan sinar bulan yang menyusupi pori-pori kulitnya. Spagethi itu tersangkut di kerongkongannya, membuatnya tersedak hingga mengeluarkan air mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romansa"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...