16. Pillowmate

795 67 120
                                        

Ketika terbangun dari tidurnya, yang pertama kali Steven lakukan adalah mencari-cari otaknya. Ia seketika merasa cemas, takut jika kejadian semalam jangan-jangan cuma mimpi. Barulah ketika ia memiringkan tubuhnya ke tepi ranjang dan melihat pakaian miliknya saling tindih dengan pakaian milik Marc di lantai, ia merasa tenang. Ternyata itu bukan mimpi.

Steven memutar tubuhnya 180 derajat. Ia mendapati Marc terbaring di sampingnya, tidur nyenyak, dengan kepala tanpa bantal. Kamar Marc memang cuma memiliki satu buah bantal berukuran sedang. Tadinya, setelah melewati malam yang liar, keduanya memutuskan untuk membagi bantal itu agar bisa dipakai berdua, namun sepertinya Marc cukup gentle untuk membiarkan Steven memakainya sendirian. Di sisi lain, untung saja selimut milik Marc lumayan besar, sehingga mampu menutupi tubuh mereka berdua yang tanpa busana.

Steven mendekatkan dirinya kepada Marc, yang tidur di dekat tembok dan posisi kepalanya berada lebih rendah karena tak memakai bantal. Ia menyisir rambut Marc yang berantakan tak karuan, karena aksinya tadi malam yang menunggangi Steven dengan liar. Jangankan rambut, kaki ranjang milik Marc pun ada yang sampai patah.

Marc mulai menggeliat sesaat setelah Steven mendaratkan ciuman lembut di keningnya. Ia membuka matanya perlahan-lahan, kemudian tersenyum lebar. Ia merasa senang karena Steven adalah orang pertama yang dilihatnya ketika bangun. Tanpa ba bi bu, ia langsung menarik Steven ke dalam pelukannya, membenamkannya ke dalam dadanya.

"Aku tak bisa bernapas," keluh Steven. Marc segera melepaskannya seraya terkekeh pelan.

"Bagaimana tidurmu, babe?" tanyanya dengan suaranya yang berat.

Steven mengernyitkan keningnya seraya tersenyum masam. "Babe? Kau serius mau memanggilku begitu, Marc?"

Marc tertawa. "Lalu apa kalau bukan itu? Yang pasti aku tak akan menggunakan kata buddy lagi."

"Entahlah, kau sudah pernah menggunakan itu pada Layla, jadi... berusahalah lebih kreatif lagi."

"Bagaimana kalau Stevie? Maksudku, aku sudah menggunakannya selama ini. Itu terdengar lucu."

Steven menggeleng-geleng. "Nah...! Jujur saja Marc, itu adalah panggilan yang diberikan oleh Donna, dan aku tak terlalu menyukainya. Terdengar mengejek."

Marc menaikkan alisnya. "Lalu kenapa kau tak pernah protes saat aku memanggilmu begitu?"

"Entahlah... mungkin karena kau punya kesan pembully seperti Donna, jadi menurutku kau cocok menggunakannya. Lagipula, kau tahulah... pembully selalu dibutuhkan dalam hidup sebagai motivasi untuk terus melangkah maju."

"Kurang ajar," Marc terkekeh seraya menggelitiki Steven. Steven menggeliat sambil tertawa kegelian. Hal itu membuat Marc semakin bernafsu menjahilinya. Ia meraih bokong Steven dari bawah selimut, memukulnya beberapa kali seperti sedang menghukum anak nakal, kemudian memerasnya penuh nafsu. Steven mengerang kesakitan.

"Hentikan, Marc!" ia memelas sambil mengeluarkan suara rintihan yang membuat Marc menjadi khawatir.

"Oh, astaga...! Maafkan aku, Steven," katanya dengan cemas. "Masih sakit, ya?"

Steven mengusap-usap bokongnya. Wajahnya yang kesakitan tiba-tiba berubah jadi cemberut ketika Marc menanyakan pertanyaan bodoh itu. "Kau pikir saja sendiri!" katanya dengan kesal. Marc malah tertawa, yang terdengar oleh telinganya hanyalah suara Steven yang imut.

"Kau benar-benar licik, Marc. Maksudku... selama ini kau selalu overprotektif padaku, melindungiku dari segala hal yang ada di luar sana. Tapi, kau sendiri malah memperlakukanku dengan kasar, tanpa perhitungan, tanpa kira-kira. Dasar!" keluh Steven seraya menoyor jidat Marc.

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang