"Demi Tuhan, aku bersumpah.... Aku benar-benar sangat menginginkannya," Steven berusaha mati-matian agar suaranya tetap terdengar stabil. Ini baru tahap awal dari rangkaian pengakuannya, tapi tatapan Marc padanya sudah seperti itu. Tajam, namun hangat, serta penuh dengan harapan. Steven tak menjamin dirinya bisa bertahan sampai akhir jika dipandang seperti itu saja ia sudah mau pingsan.
"Apa maksudmu, Steven?" tanya Marc setengah tak percaya. Apa yang baru saja diucapkan Steven benar-benar terdengar seperti mimpi. "Kau... menginginkan... ciumanku?"
Steven tahu dirinya tak akan sanggup menjawab pertanyaan itu secara lisan, maka sebagai gantinya, ia menggangguk saja. Anggukannya sangat kuat sehingga kepalanya seperti mau lepas dari lehernya.
Marc memproses semuanya selama beberapa saat. Ia terkekeh tanpa sadar, setengah kebingungan dan setengahnya lagi... merasa senang. "Kalau kau memang menginginkannya... lalu kenapa kau menghindarinya?" tanyanya pada akhirnya.
"Tepat sekali," kali ini Steven bisa menjawab. Malah, ia menjawabnya dengan sangat cepat agar Marc tidak mendahuluinya lagi. "Karena aku sangat menginginkannya, makanya aku menghindarinya."
Marc mengernyitkan dahinya, kemudian menggeleng-geleng pelan. "Aku tak mengerti, Steven."
"Bukankah seharusnya jelas, Marc?!" Suara Steven terdengar parau. "Kalau aku sampai menerima ciuman itu, maka aku akan jatuh cinta padamu," katanya putus asa. "Aku tak mau hal itu terjadi."
Mendengar itu, hati Marc hancur berkeping-keping, seperti kaca yang habis dijatuhkan dari gedung setinggi 50 lantai.
"Tapi sayangnya, itu sudah terjadi...," Steven melanjutkan dengan nada kalah. "Dan jujur saja, itu terjadi bukan karena kau ingin menciumku. Kejadian tadi malam cuma... cuma sebagai pesan, agar aku sadar, bahwa aku telah jatuh cinta padamu... jauh sebelum itu."
Marc mematung di hadapan Steven. Hatinya yang baru saja hancur berserakan, kini mulai tersusun kembali. Jantungnya berdetak hebat seperti sedang melakukan marathon, dan matanya mulai merasa panas. Ia berharap telinganya tak salah dengar.
"Kau... jatuh cinta... padaku?" Marc bertanya setengah berbisik, memastikan bahwa yang baru saja didengarnya bukanlah bagian dari imajinasinya.
"Aku tahu... aku tahu ini gila. Aku sudah tidak waras. Aku sudah kehilangan akal sehatku...," ucap Steven dengan frustasi sambil memukul-mukul wajahnya menggunakan kedua tangannya, seolah-olah ia sudah tak sanggup lagi melanjutkan semua kegilaan ini.
"Hei, hei...," Marc mengambil kedua tangan Steven yang sedang mengamuk, mencoba menenangkannya, namun Steven tak bisa berhenti memukuli dirinya sendiri. Marc pun terpaksa harus memaku kedua tangan itu ke tembok, menguncinya di sana, agar Steven berhenti menyakiti dirinya sendiri. "Hentikan! Kau tidak gila, Steven. Kau tidak kehilangan akal sehatmu!"
"Bagaimana kau tahu soal itu?!" Steven tetap meronta-ronta.
"Karena aku juga jatuh cinta padamu!" Marc setengah berteriak. Hal itu sukses membungkam Steven. Bukan cuma mulutnya, tapi juga tubuhnya yang sejak tadi tak mau diam. "Dengar, jika kau menganggap dirimu tidak waras karena itu, maka aku juga sama tak warasnya denganmu."
Steven terdiam. Ia menatap Marc lekat-lekat, dan tiba-tiba saja bendungan air matanya hancur seketika. Air matanya mulai berderai-derai membasahi pipinya. "Jangan. Kumohon... jangan. Jangan lakukan ini padaku, Marc," ia memohon sambil sesenggukan. "Ini tidak boleh terjadi. Ini tak boleh terjadi."
Hati Marc kembali hancur mendengar kata-kata yang penuh dengan keputusasaan itu. "Kau tak bisa mengatur perasaanku, Steven. Perasaan ini sudah ada sejak lama, jauh sebelum kau tahu bahwa aku ada di dunia ini. Aku tak bisa menghilangkannya begitu saja. Aku tak punya kuasa akan hal itu," katanya dengan lirih. Marc bahkan tak sadar, bahwa ia mengucapkan itu sambil meneteskan air mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...