Rumah sakit senyap, sehingga suara monitor detak jantung itu berselancar ria di telinga Layla, tanpa distraksi, tak henti-hentinya mempermainkan perasaan. Terkadang ia mengeluarkan suara tut yang panjang, membuat Layla menahan napas karena ia pikir Marc dan Steven telah kalah. Namun ternyata itu cuma prank murahan. Lelucon yang hanya dilakukan oleh barang elektronik yang belum tahu rasanya digebuki palu. Monitor detak jantung itu sepertinya memang belum pernah diberi pelajaran.
Di sisi lain, Layla sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ia tunggu. Apakah ia harus duduk di situ sampai monitor itu benar-benar mengeluarkan suara tut yang panjang? Atau melamun seraya menunggu keajaiban datang? Entahlah. Ia sudah pasrah dan akan menerima apapun yang datang lebih dulu. Tapi nyatanya, semakin bulan naik, tetap tak ada yang datang. Keajaiban tak mampir, maut tak menjemput.
Yang datang malah seorang pria asing. Ia tiba-tiba muncul di depan pintu, mengaku pada Layla bahwa ia adalah rekan kerja Steven. Tak tahu dari mana ia dapat kabar Steven kena tembak, yang pasti ia datang untuk menjenguk.
"Aku benar-benar syok melihat beritanya di TV," katanya. Aksen Britishnya cukup kental. "Aku harap pelakunya segera ketemu. Kudengar polisi sudah mulai melakukan penyelidikan. Mungkin beberapa petugas akan segera datang ke sini dan menanyaimu beberapa hal."
Layla mengangguk. Ia sama sekali tak terpikir akan masalah itu. Tentu saja. Tragedi yang menimpa Steven dan Marc adalah sebuah kasus pembunuhan yang terstruktur dengan matang. Tentu saja polisi akan turun tangan untuk menyelidiki masalah ini.
"Aku tak menyangka ada orang yang sejahat ini pada Steven. Padahal dia orang baik. Di tempat kerja, dia selalu ramah padaku. Tak masuk akal rasanya jika ada orang yang menaruh dendam padanya," kata pria itu lagi.
Layla merenung, teringat akan masa lalu. Kalau dipikir-pikir lagi, insiden yang menimpa Marc dan Steven dapat dikatakan sebagai ironi. "Dulu dia tidak selemah ini. Biasanya... peluru bukanlah hal yang menjadi ancaman baginya. Tapi sekarang...."
Pria itu menunggu. Layla tidak melanjutkan karena air mata kembali merecokinya.
"Ceritanya panjang. Agak rumit jika harus kujelaskan," tutup Layla seraya terkekeh sebisa mungkin. Pria itu nampak mengerti. Ia hanya mengangguk-angguk.
"Siapa namamu tadi?" Layla mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Dane. Dane Whitman."
Layla mengangguk-angguk sebelum akhirnya teringat akan sesuatu. Steven seperti pernah menyebut nama itu. Terdengar tidak asing.
"Tunggu.... Kau adalah Dane? Dane Whitman?"
Dane mengangkat alisnya. Matanya berkilat-kilat. "Kau mengenalku?"
"Tentu. Maksudku...," Layla mengusap ingusnya. "Steven pernah bercerita tentangmu. Katanya, kau hilang setelah peristiwa kebakaran museum dan tak ada kabar."
Dane menggaruk-garuk kepalanya. "Waduh... sepertinya aku telah membuatnya khawatir, ya?"
"Mungkin. Tapi yang pasti, sekarang kau tak nampak seperti orang hilang lagi."
"Ya... begitulah."
"Apa yang terjadi?"
"Ceritanya panjang. Agak rumit jika harus kujelaskan," kata Dane. Layla memandanginya selama beberapa saat, sebelum akhirnya tertawa lepas. Namun tak sampai lima detik, ia lantas merasa bersalah karena bisa-bisanya ia tertawa di hadapan Steven yang tengah berjuang melawan maut.
Senyap kembali merambat.
"Detak jantungnya menurun lagi," kata Layla dengan pilu. Monitor detak jantung itu semakin senang mengejeknya. Dirabanya nadi Steven. Sekarat. "Dokter sudah menyerah. Aku tak tahu harus bagaimana lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...