38. It Feels Wrong

237 25 14
                                        

Rapuh. Itulah yang pertama kali dirasakan oleh Marc ketika ia menginjak bebatuan hitam itu menggunakan kakinya. Ia merasa harus berhati-hati. Karena entah mengapa, batu itu sepertinya bisa hancur secara tiba-tiba dan menyedotnya ke dalam pasir. Mencabik-cabiknya seraya mengejeknya karena telah memandang remeh alam baka. Sepertinya Duat tidak semudah itu untuk dikelabui.

Mungkin batu-batu ini tersusun dari kapur atau semacamnya. Warnanya hitam mengelupas, namun itu sudah cukup hitam untuk menjadi warna paling kelam di seluruh Duat. Tapi untung saja bebatuan yang mereka pijaki sekarang tidak terasa terlalu muram, karena cahaya dari tirai yang mereka tuju telah memberi warna berbeda pada mereka. Ada rasa semangat, bahagia, dan takut yang terpancar pada saat bersamaan.

Jake memimpin jalan menuju tirai itu. Berbeda dengan Marc, langkahnya jauh lebih tegas, tanpa banyak khawatir maupun was-was. Beban di kakinya hanya terisi oleh tekad. Cahaya tirai yang menembak kulitnya terpental, hangus menjadi uap api yang menggebu-gebu. Jingga terang.

"Perhatikan langkahmu," Marc memperingatkan setelah salah satu batu yang ia pijaki jebol.

"Waktu kita tak banyak," balas Jake datar. Ia meninggalkan Marc jauh di belakang sana.

Tirai yang mereka datangi nampak semakin kontras jika dilihat dari dekat. Jika diperhatikan baik-baik, portal itu sebenarnya tidak berbentuk seperti tirai, melainkan retakan yang berbentuk garis, dengan cahaya warna-warni menggedor-gedor rakus dari dalam. Entah apa yang ada di balik sana, tapi yang pasti itu cukup kuat untuk membuat retakan tipis itu bergoyang-goyang, meliak-liuk lembut seperti layangan yang tengah berdansa dengan angin musim panas.

Sesampainya di hadapan tirai yang tingginya hampir 3 meter itu, Marc dan Jake hanya diam tak bergeming, setidaknya selama beberapa saat.  Mereka baru tahu langkah selanjutnya saat keduanya saling pandang, karena ikatan telepatik itu lagi-lagi membuat mereka bisa berkomunikasi tanpa harus bicara satu sama lain.

Segera saja, Marc dan Jake mengangkat hati mereka secara bersamaan, kemudian mengarahkannya pada garis retakan yang melintang di udara itu. Tapi belum sempat hati mereka menyentuhnya, garis itu sudah terbelah perlahan. Bagian bawahnya tersibak dengan cepat, merobek naik ke tengah-tengah, sementara bagian atasnya tetap bertahan sebagai poros. Pergerakannya terhenti saat portal itu terbuka cukup lebar, membentuk juring lingkaran.

Gelap dan hitam. Ternyata itulah isi di balik tirai misterius yang diributkan oleh Taweret. Cahaya warna-warni itu ternyata bukan isi dari portal itu. Mereka cuma bingkai. Marc hampir putus asa saat ia benar-benar mencoba melongokan kepalanya ke dalam sana, berharap matanya cuma mengerjainya. Tapi Jake juga melihat hal yang sama. Hanya ada kegelapan tanpa batas.

Sial. Ini terasa tidak benar. Tapi bagaimanapun juga, Taweret tak mengatakan apa-apa soal ini.

"Apa ada dasarnya?" Jake bergumam, lebih kepada dirinya sendiri.

Di dalam portal itu, entah di atas, bawah, kiri-kanan, semuanya hitam. Marc bahkan tak yakin kalau kalau ruangan yang terhampar di depannya itu memiliki sudut ataupun pojok. Bentuknya bahkan tak jelas. Bukan balok seperti koridor, bukan kerucut, bukan juga prisma segilima seperti rumah ternak. Bahkan ia tak yakin apakah itu bisa disebut ruang. Karena sejauh mata memandang....

Hitam.

Gelap.

Sebelum Jake sempat kembali membuka mulutnya untuk mendapatkan kepastian mengenai apa yang harus mereka lakukan sekarang, tiba-tiba hati yang ia genggam mengeluarkan cahaya. Warnanya biru muda, dan mereka berdengung gembira di atas telapak tangannya. Jake merentangkan hatinya ke depan, dan cahaya yang bersemangat itu tiba-tiba saja meluncur ke depan, berlarian melintasi gelap, membentuk tali panjang yang berlarian liar ke sana kemari.

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang