28. At the End of the Work

286 37 17
                                    

Waktu sudah menunjukkan tengah malam ketika Marc menyelesaikan shift kerjanya. Ia beranjak dari buritan kapal, melangkah dengan gontai menuju ruang staff yang ada di geladak. Wajahnya terlihat letih, kantong matanya berbongkol-bongkol dan garis-garis tak karuan melintang di sepanjang pelipisnya. Kulitnya kusut dan kering. Bibirnya melengkung ke bawah, seperti kurva persamaan kuadrat yang definit negatif.

Marc merasa sangat tersiksa karena sudah terlalu lama tak bertemu dengan Steven. Walaupun secara perhitungan baru tujuh hari, tapi bagi Marc, rasanya sudah seperti tujuh abad. Memang, dilatasi waktu harusnya hanya dialami oleh astronot yang melakukan perjalanan lintas galaksi, seperti yang tergambar dalam film Interstellar garapan Christopher Nolan. Tapi Marc juga mengalaminya. Dan ia tak sedang berada di luar angkasa, melainkan Samudera Atlantik, di mana waktu bergerak secara normal.

Meskipun tak bisa melihat Steven secara langsung, setidaknya Marc masih bisa mendengarnya menggerutu setiap hari dari ruang pandang. Ia selalu bercerita panjang lebar, mengocehkan hal-hal yang tidak penting. Marc menyukainya. Ia selalu menyukainya. Tapi bagian terburuknya adalah, ia tak bisa menanggapi Steven dengan layak. Ia tak bisa melakukan apa-apa untuk merespon apapun yang Steven katakan. Padahal ia sangat ingin. Dan ia ingin Steven tahu bahwa ia sangat ingin.

Steven, meskipun tak pernah mengatakannya, tapi sepertinya ia paham akan hal itu. Ia paham akan tuntutan pekerjaan kekasihnya. Meskipun Marc tak pernah meresponnya, Steven tetap menyapanya setiap hari. Ia mengunjungi Marc berkali-kali ke ruang pandang. Pagi, siang, sore, malam. Tak sekalipun ia absen. Ia akan berdiri di depan jendela raksasa itu dan menceritakan apa saja yang bisa ia ceritakan. Terkadang ia menggerutu soal rekan jaga Marc yang brengsek itu, kadang bergumam soal museum yang terbakar, Dane yang menghilang, dan sesekali berceloteh soal kegiatannya bersama Jake sepanjang hari. Itu adalah satu-satunya alasan yang membuat Marc masih bisa berdiri di kapal itu dengan kedua kakinya.

Tapi sejak sore tadi, Steven tak ada kabar. Ia seolah-olah menghilang dari muka bumi ini. Hal itu menyebabkan Marc tak bisa berhenti overthinking. Dari sekian banyaknya pikiran buruk yang menggerogotinya, ketakutan bahwa Steven mulai lelah dan bosan serta sakit hati adalah yang paling sering menginfeksi otaknya. Jika orang lain diabaikan selama berhari-hari, ia pasti lelah dan akan mencapai batasnya. Tapi Steven...? Marc tak mau berpikir bahwa Steven juga akan sama seperti orang lain. Tapi seperti kebanyakan pria, Marc hanyalah manusia biasa. Ia tak bisa mengendalikan pikirannya yang menjalar dan berpetualang dengan liar.

Jika bukan karena rekan jaganya yang bernama Poli itu, semua ini harusnya tak perlu terjadi. Tapi semua ini telah terjadi, dan sekarang pun, Poli masih terus mengawasi punggungnya dengan penuh kecurigaan. Segala gerak-gerik Marc, mulai dari bernapas, menelan ludah, berjalan dengan lemas, membenarkan rambutnya yang tak karuan, atau apapun itu, tak pernah terlihat benar di mata Poli. Selalu ada prasangka di mata birunya yang jelek itu. Marc sangat ingin membunuhnya.

Wajah kusut Marc nampak mulai sedikit bersinar saat ia mencapai lambung depan kapal. Beberapa mil di depan sana, nampak cahaya warna-warni berkelap-kelip, jauh lebih terang dari hamparan bintang-bintang yang membedaki permukaan langit. Suara hingar-bingar kota New York yang tak pernah tidur juga mulai menelisik masuk ke dalam telinganya, menghantarkan untaian energi masuk menembus pori-pori kulitnya, membuatnya bersemangat.

Sebentar lagi ia sampai di dermaga. Sebentar lagi semua ini akan berakhir.

Marc secara tidak sadar melangkah menuju haluan kapal, tergelincir jauh dari rutenya yang seharusnya masuk ke dalam geladak. Poli tak membuang-buang waktu untuk menghakiminya.

"Hei, Spector! Apa yang kau-"

"Aku mau melihat ombak, Po!" potong Marc dengan nada lebih sinis dari yang ia maksudkan. "Aku hanya ingin menghirup udara segar, sekitar satu menit. Aku tak berencana berbuat yang macam-macam. Kalau kau mengadukanku lagi, aku bersumpah akan membakarmu hidup-hidup ketika sampai di daratan."

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang