"Kau tak seharusnya masuk ke sini, Steven," suara pria itu tajam, lengkap dengan aksen hispaniknya yang matang.
Steven tiba-tiba tak bisa merasakan dirinya. Ia kehilangan kemampuannya untuk bergerak, serta kesulitan untuk menemukan suaranya. Tak lama kemudian, Marc tiba-tiba muncul. Ia dengan sigap menarik Steven ke belakang, menyembunyikannya di balik punggungnya. Setelah itu, ia lalu menatap pria di depannya setengah tak percaya. Marc menyangarkan wajahnya, memasang kuda-kuda di kaki, dan siap untuk bertarung. Namun, tak sampai sedetik sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas. Ia baru sadar kalau pria itu tengah menodongkan pistol padanya.
"Kau...," Marc menemukan suaranya setelah beberapa lama terpaku menatap pria itu. Berbagai macam perasaan buruk menyerang dadanya. Pria di depannya jelas-jelas sangat mirip dengannya dan Steven. Hanya saja, raut wajahnya yang tajam dan haus darah membuat pria ini terlihat bertahun-tahun lebih tua dari mereka.
"Tenang Marc.... Aku tak mau membuat masalah dengan kalian," kata pria itu seraya perlahan-lahan menurunkan pistolnya.
"Siapa kau? Kenapa kau bisa ada di sini?" Marc bertanya dengan tenang.
"Aku...," raut wajah pria itu berubah perlahan-lahan, dari sangar menjadi tak habis pikir, seakan-akan ia kecewa dengan dirinya sendiri. "Sial, tidak kusangka aku ketahuan."
Di balik punggung Marc, Steven mencoba sebisa mungkin membuat dirinya tak terlihat oleh pria berpistol dan bertopi baret itu. Ia menunduk ketakutan, tangannya memegangi ujung bawah kaos Marc dengan erat, seolah-olah hidup matinya bergantung pada pegangan itu.
"Kau tak apa, Stevie?" Marc bertanya khawatir. Steven tak menjawab. Ia hanya bisa menelan ludah dan menggeleng-geleng tak berdaya.
"What have you done to my Steven?!" Suara Marc agak meninggi kepada pria bertopi baret itu.
"Maaf, tapi siapa yang memegang kemudi?" Pria itu bertanya balik, berusaha menampilkan ekspresi khawatir. Tapi outputnya lebih seperti mengejek.
"Jawab pertanyaanku," Marc menekan.
"Oke, oke...," si pria mengangkat kedua tangannya sambil mengangguk-angguk. "Kita akan bicara. Tapi di luar saja, aku mohon."
Mata Marc lebih tertuju pada pistol yang masih melekat di tangan kanan pria itu daripada tertarik dengan perkataannya. Setelah sadar bahwa benda itu membuat Marc dan Steven ketakutan, pria itu langsung melemparkan pistolnya ke pojok ruangan. "Kita bicara di luar. Kalian keberatan?" Pria itu mengulangi lagi.
"Kau lebih dulu," kata Marc setelah beberapa lama. Pria itu mengangguk sambil tersenyum menang, kemudian melenggang dengan santai melewati Marc dan Steven, keluar dari ruangan rahasia itu. Marc menyampingkan tubuhnya ketika pria itu lewat, sambil mengarahkan Steven agar tetap berlindung di balik punggungnya. Ketika pria bertopi baret itu sudah berjalan cukup jauh di depannya, barulah Marc mulai melangkah mengikutinya. Steven mengekorinya sambil tetap berpengangan pada ujung bawah kaos, seolah-olah kalau ia melepaskannya, ia akan tersesat dan kehilangan Marc-nya.
Pria bertopi baret itu menuntun mereka menuju ruang pandang. Setelah tiba di sana, ia duduk di sofa, lalu menatap Marc dan Steven yang berdiri di depannya secara bergantian. Steven masih ketakutan. Ia kembali menghilang di balik punggung Marc.
"Kau ingin tahu siapa aku?" pria itu memulai setelah melipat kakinya.
"Tell me everything!" perintah Marc. Pria itu mendengus sekaligus menyeringai.
"Kau tidak akan menyukainya," ujarnya.
"Langsung saja. Tak perlu basa-basi,"Marc mulai tidak sabaran. Pria itu kembali mendengus.
"Baiklah," katanya memulai. "Namaku Jake...."
"Jake?"
"Jake Lockley."
Marc terpaku selama beberapa saat. Ia tak tahu harus merespon bagaimana.
"Aku adalah kepribadian yang kauciptakan setelah Steven, Marc," Jake menjelaskan.
Marc membelalakkan mata, kemudian berbalik menatap Steven yang juga tengah menatapnya dengan wajah yang masih ketakutan, sekaligus menunggu jawaban. "Aku.... Entahlah. Aku tak ingat bahwa aku—"
"Sebelumnya, apa kau sadar kalau tubuh ini sudah terlalu lama ditinggalkan? Kau mau kita mati, ya?" Jake memungkas Marc dengan tajam.
Tentu Marc sadar akan hal itu. Bisa gawat jika tidak ada yang keluar dan mengambil kendali. Ia segera membalikkan badan, menatap Steven, memegang pergelangan tangannya. "Pergilah keluar, Steven. Biar aku yang menghadapinya."
Steven tidak setuju dan terlihat ketakutan. "Apa?! Aku tak akan meninggalkanmu di sini dengannya, Marc," katanya setengah berbisik.
"Hei, hei," Marc memegangi kedua bahu Steven. "Aku akan baik-baik saja, oke? Pergilah, selamatkan kita."
Steven tak bisa banyak membantah. Ia mengangguk, kemudian segera meluncur ke dalam kemudi. Kini, hanya tersisa Marc dan Jake yang saling menatap dengan sengit dalam sebuah ruangan yang dibingkai oleh jendela raksasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romansa"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...