10. Jealous Steven

463 62 21
                                        

Sudah sekitar 37 menit Steven berada di dalam kamarnya, mondar-mandir seperti orang yang tak beres jiwanya. Ia sama sekali tak bisa tidur. Kepalanya dipenuhi dengan Marc. Tak dapat dipungkiri, Steven tadinya berharap Marc akan kembali menghampirinya saat ia membanting pintu itu, tapi ternyata tidak. Hal itu membuatnya overthinking. Jadilah ia mengevaluasi diri.

Selama ini, Marc selalu gentle pada Steven. Kalau diingat-ingat, rasanya Marc tak pernah sekalipun 'tidak berterus terang' padanya. Ia selalu mengungkapkan apapun yang ia rasakan kepada Steven, tanpa harus menunggu Steven peka terlebih dahulu. Jika ia tidak menyukai sesuatu, ia akan langsung memberi tahu Steven. To the point, tanpa basa-basi, tanpa harus membuat pertunjukan drama. Steven merasa bersalah setelah mengingat-ingat itu. Kenapa ia jadi menyebalkan seperti perempuan? Benar-benar tak habis pikir!

Jadilah Steven keluar untuk menemui Marc di ruang pandang. Tak tahan ia jika harus menunggu lebih lama lagi. Karena sejatinya, kekesalan yang Steven tunjukkan kepada Marc terjadi karena sebuah alasan yang sederhana (selain cemburu pada Jake), yaitu karena ia merindukan Marc. Seharian tanpa melihat orang yang selama ini selalu ada untuknya tentu terasa sangat berat. Itulah yang tepatnya akan Steven sampaikan pada alternya. Ia akan memberi tahu Marc kalau dirinya kesal karena tidak dikabari seharian. Ia akan mengeluh karena Marc telah membuatnya khawatir dengan tidak menunjukkan diri atau sekadar berbisik dari dalam untuk menyapanya.

Beberapa langkah sebelum mencapai ruang pandang, Steven mendengar Marc tengah asik berbicara dengan Jake melalui jendela raksasa itu. Steven merasakan mood yang sudah dengan susah payah dibangunnya mulai retak, dan akan segera hancur, lagi. Padahal, ia sudah menyiapkan diri untuk meminta maaf. Tapi mendengar Marc seakrab ini dengan Jake, membuatnya sangsi bisa melakukan itu sesuai rencana. Semakin ia mendekat, semakin seru obrolan yang ia dengar. Tapi Steven tak mau mundur dan kembali ke kamarnya. Niatnya masih bersamanya. Ia ingin menemui Marc. Ia ingin melihat Marc sekali lagi, setidaknya untuk malam ini.

Steven memasuki ruangan tanpa berusaha membuat keributan. Marc tidak menyadari kedatangannya. Ia terlihat tengah berbincang serius dengan jake melalui jendela itu. Steven mencoba memahami apa yang sedang dilakukan Jake di luar sana. Yang ia lihat hanya deretan mobil dan sepeda motor yang parkir seenaknya di tengah jalan. Kendaraan jaman sekarang memang tak punya sopan santun.

"Jadi menurutmu kita ledakkan saja, supaya anak-anak itu mendapat pelajaran?" suara Jake terdengar seperti radio tua.

"Yah, mereka harus diberi tahu tata krama. Dasar remaja, mereka pikir ini jalanan ini milik buyut mereka, apa? Seenaknya saja," kata Marc sedikit mengomel.

"Kau akan meledakkan kendaraan mereka?" Steven bertanya dari belakang, bergabung ke dalam obrolan secara tiba-tiba, membuat Marc kaget setengah mati.

"Steven?! Astaga, kau mengaget—"

"Kau akan membiarkan dia melakukan itu, Marc?" potong Steven, cemas.

"Aku sedang buru-buru. Khonsu akan mengoceh jika aku telat. Anak-anak ini benar-benar menyebalkan, mereka harus diberi pelajaran," Jake menanggapi dari luar.

"Pelajaran?!" Steven tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Pelajaran macam ini? Tidak kah kau setidaknya mau berpikir bahwa kendaraan-kendaraan itu mungkin milik orang tua mereka? Ayolah, mereka masih anak-anak, jangan terlalu berlebihan."

"Terus apa? Kau mau aku turun dari limosin dan mendatangi mereka, kemudian menasehati mereka seperti guru BK?" sindir Jake.

"Ya!" seru Steven. "Maksudku...kalau dengan cara seperti itu bisa, kenapa tidak? Kenapa harus anarkis?"

"Yang benar saja, bung. Aku tak punya waktu untuk itu. Lagipula, ini adalah pelajaran yang paling pantas untuk mereka. Dengan begini, mereka bisa merenungkan berapa banyak uang yang orang tua mereka keluarkan untuk rongsokan-rongsokan ini."

HeadmatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang