Kulit Steven terasa makin dingin. Nadinya remang-remang. Napasnya putus-putus. Hal ini membuat hati Layla bergulir-gulir di sepanjang koridor rumah sakit.
"Steven... bertahanlah. Stay with me, please...."
Tibalah mereka di UGD. Layla mondar-mandir di balik jendela kaca satu arah. Urat-uratnya menegang melihat tubuh mantan suaminya dipasangi selang-selang. Terlalu banyak darah yang habis, sampai-sampai Layla tak mampu berpikir positif. Skeptis menyerangnya dari segala pelosok.
Layla menyerah setelah melihat monitor di samping ranjang Steven mulai menampilkan garis-garis kusut, memproyeksikan kondisi detak jantung. Ia akhirnya memilih duduk di ruang tunggu daripada menyaksikan operasi itu.
Menit berlalu. Gelisah berpacu. Setelah beberapa jam termangu, pintu UGD terbuka. Seorang dokter datang menghampiri Layla dengan langkah timpang. Wanita berdarah Arab itu tak siap. Ia berharap operasinya tak selesai secepat ini.
"Dia kehilangan banyak darah, Ny. Faouly. Dan tembakan itu kena organ vitalnya," Dokter mulai menjelaskan. "Tak banyak yang bisa kami lakukan. Maafkan saya, tapi hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia-"
"Jangan katakan," potong Layla. Suaranya tak mampu membendung getir. "Aku mengerti."
Dokter mengangguk.
"Boleh aku melihatnya?"
Dokter mengangguk lagi.
Lalu dengan cepat, ruang operasi dikosongkan. Tersisalah Steven, selang-selang infus, dan monitor yang tak mau senyap itu. Garis-garis di layarnya nampak bergerak dengan malas.
Hanya tinggal menunggu waktu sebelum-
"Fuck!" umpat Layla. Kali ini, ia tak mampu membendung tangis. Ia duduk dengan susah payah di samping ranjang. Digenggamnya tangan pria yang sekarat itu, dirasakannya dingin yang menyengat. Meskipun nadinya masih terasa, tapi Layla tahu... bahwa itu tak akan bertahan lama.
Layla menengadahkan kepalanya untuk menyudahi air matanya yang terus-terusan meluncur seperti air terjun. Dalam pada itu, ia kembali teringat akan Taweret. Jika Steven dan Marc kini berada di ambang kematian, ia berharap mereka akan bertemu Taweret. Kemudian, ia berharap Taweret akan menuntun mereka. Ia pun mulai berdoa, meskipun ia sudah melakukannya dalam perjalanan ke rumah sakit. Ia meminta agar Dewi itu menjaga mereka di sana. Ia memohon agar Taweret membuat mereka tetap bersama, apapun yang terjadi.
"Jangan sampai jiwa mereka terpisah, Taweret. Marc tak akan bertahan tanpa Steven. Steven adalah detak jantung sekaligus denyut nadinya. Kita berdua tahu itu."
Tanpa Layla sadari, Taweret ternyata mendengar rapalan doanya dari alam persimpangan yang disebut Duat itu. Dan seperti yang kita ketahui, Dewi itu sudah berusaha semaksimal mungkin mengikuti permohonan Layla: memastikan mereka tetap bersama. Tapi dalam kasus ini, karena sejak sampai di sana keduanya telah terpisah, maka tugas Taweret adalah mempertemukan jiwa mereka.
Tapi pada akhirnya, seperti yang kita ketahui bersama, usaha Taweret berbuah lain. Steven kini harus kehilangan Marc. Lagi.
***
Saat Steven mulai sadar, kata yang pertama kali keluar dari mulutnya adalah 'Marc.'
"Ma-Marc?"
"Marc??"
"Marc!"
"Marcc!!!"
Terus begitu berulang-ulang.
Mendengar itu, Jake memutuskan untuk tidak bangkit. Maka diamlah ia di tanah itu. Telengkup, mencium tanah yang baunya macam kaporit. Pura-pura masih pingsan tapi tak berusaha kelihatan pingsan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...