Marc kesusahan untuk membanting pintu kamar Steven.
Steven bergelantung erat sambil menciumnya dengan tamak. Marc kewalahan setengah mati, terengah-engah seperti anjing chihuahua. Kesalahan awalnya adalah karena memilih kamar Steven untuk dijadikan tempat bercinta, padahal jelas-jelas kamarnya adalah yang paling dekat dengan ruang pandang.
Ada perasaan senang dalam diri Marc ketika ia menggendong Steven yang lagi manja-manjanya. Ia ingin menggendongnya lebih lama karena itu, sehingga kamar Steven yang berada di paling ujung bukan masalah baginya.
Tapi semuanya berubah saat Marc melangkah masuk melewati pintu kamar itu.
Steven menurunkan dirinya ke lantai, lalu menerkam Marc dengan buas. Marc sebenarnya berniat membawa Steven ke ranjang yang jaraknya tak sampai 7 meter itu sebelum meladeninya, tapi rintangannya berat sekali.
Mereka berjalan sambil berciuman penuh nafsu, sehingga kaki mereka tak henti-hentinya melindas berbagai macam barang yang tercecer di lantai. Mereka menabrak rak buku, menyodok meja dan kursi, tersandung pemberat kertas sampai tersungkur, dan menggugurkan banyak sekali barang-barang berharga milik Steven.
Marc mengumpat dan menggerutu setiap kali tubuhnya menyenggol barang-barang itu. Steven nampak tidak senang. Ia mengambil dagu Marc dan menariknya mendekat, memerintahnya untuk mengabaikan benda-benda yang gugur dan pecah di ubin keramik. Lagi-lagi ini terasa aneh. Steven biasanya menyayangi barang-barang kuno itu, tapi sekarang ia nampak tak peduli sama sekali.
"Kau tahu kan kalau kau berutang banyak ciuman padaku?" todongnya.
Marc menelan ludah yang bergerumul terlalu banyak di ujung mulutnya. "Ya."
"Maka bayarlah, jangan banyak bicara."
Fuck, Marc benar-benar tak tahu apakah ia bisa lebih terangsang lagi dari yang sekarang. Steven terlalu banyak memberinya kejutan, dan batang kontolnya sekarang sudah overhard. Ia sampai takut penisnya akan meledak jika Steven terus-terusan menggodanya seperti ini.
"Aku bisa melunasi semuanya dalam sehari. Aku bahkan bisa memberikan bonus jika kau sanggup menerimanya," ujar Marc seraya menyeringai bejat.
"Buktikan!" tantang Steven.
Marc tersenyum nakal. "Bossy!"
Akhirnya, birahi Marc tak bisa lagi terbendung. Nafsunya meledak saat Steven mulai membuka mulutnya perlahan, mengundangnya untuk masuk.
Marc mendekatkan wajahnya. Napasnya hanya beberapa milimeter dari kulit Steven sebelum ia mengurungkan niat untuk menciumnya. Marc bisa saja melahap Steven dengan rakus sekarang juga, tapi ia tak mau mengabaikan kecantikannya yang luar biasa begitu saja.
Steven selalu nampak luar biasa di matanya. Wajahnya yang polos namun penuh nafsu, bibirnya yang tipis dan merah muda, mata cokelatnya yang melebar ketika Marc mendekatkan wajahnya, rambut ikalnya yang sinting itu, yang selalu nampak berantakan seperti sapu ijuk. Dan juga kulit tan-nya yang diselimuti keringat. Damn, he's so fucking pretty. Marc can't help it.
Tapi sepertinya, Steven memandang itu dengan cara yang salah. Melihat Marc menghentikan aksinya, ia merengek tanpa suara. Ia benar-benar sudah haus akan Marc. Ia ingin Marc memakannya sekarang juga, tapi pria itu berhenti. Kenapa dia berhenti?
Bahkan saat Steven mendekatkan dirinya, mencoba mencium lebih dulu, Marc malah mundur, menjauh sedikit demi sedikit.
"Apa? Kau tidak menginginkanku lagi?!" tanya Steven putus asa. Matanya berkaca-kaca.
Marc menggeleng-geleng penuh pesona. Tapi Steven salah dalam mengintepretasikan itu. Ia segera sadar bahwa sejak tadi, sikapnya mirip dengan pelacur. Hal itu membuatnya seketika merasa malu. Pandangan Marc padanya....
KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...