Karena sekoci itu bergerak otomatis, Marc tak bisa melakukan apa-apa untuk mempercepatnya. Yang bisa ia mainkan cuma kemudi. Tapi ia tak butuh melakukan manuver saat ini. Hal itu hanya akan memperbesar risiko mereka untuk jatuh. Jadilah perahu itu dibuatnya tetap berlayar lurus, dengan ombak mayat mengekori mereka seperti anjing pudel.
"Di mana sebenarnya Taweret? Aku tak melihat ada tanda-tanda darinya," celetuk Steven. Harapan terasa menghilang dari ujung lidahnya.
Mungkin sudah lebih dari satu jam sejak Marc dan Jake berpisah dengan Taweret. Dengan waktu yang selama itu, serta kapal yang terus bergerak, tak mengherankan jika Taweret masih belum nampak sepanjang mata memandang. Mereka pasti terpisah bermil-mil.
"Oh, bollock! Mereka semakin dekat," Steven histeris, seraya menunjuk ombak yang bergerak makin cepat ke arah mereka.
Di balik kemudi, Marc makin frustasi. Jake sendiri sudah sangat skeptis. Jika mereka terus-terusan begini, ia yakin mayat-mayat itu akan menghantam mereka dalam waktu kurang dari tiga menit.
"Kita tak punya pilihan selain menghadapi mereka," katanya dengan serius.
Mendengar itu, Steven bergidik. Ia lantas memeluk Marc yang duduk di depannya seerat mungkin sampai perut kekasihnya itu sakit.
"Bukan ide yang bagus," sergah Marc, sembari mengusap-usap punggung tangan Steven, membuat pegangannya melonggar sehingga terasa lebih nyaman. Oh, terlalu nyaman! Marc jadi takut ia tak akan bisa membiarkan tangan Steven pergi dari pinggangnya. "Kita mati kutu, Jake. Tak bisa berbuat apa-apa! Kau tahu sendiri 'kan apa yang akan terjadi kalau kita menyentuh pasir?"
Steven tak tahu apakah ia harus merengek atau menghela napas. "Jadi kita akan mati? Begitu saja? Setelah semua yang kita lewati?"
Pertanyaan itu sangat putus asa. Tak terdengar lagi nada harapan dari suata Steven. Marc melepaskan kemudi tanpa acuh, membiarkan sekoci itu melaju sendiri, selagi ia perlahan-lahan memutar tubuhnya, tak membiarkan pegangan Steven melonggar sedikit pun.
"Jangan menangis," pintanya lembut seraya menggoreskan jempolnya di sekitar kantong mata Steven yang tak pernah kering karena selalu dilindas air mata. Ia terlihat lelah, pasrah dan menyerah. "Aku akan melindungimu sampai napas terakhirku, Steven. You do believe me, don't you?"
Steven menutup matanya sambil mengangguk kuat-kuat, mengejar sentuhan Marc yang terasa mengambang di wajahnya. "Of course I do. With all my life."
Perih rasanya mendengar itu. Marc tahu Steven akan mengatakan apa jika ia bilang ia tak pantas menerima semua ini.
Aku tak peduli. Aku hanya ingin bersamamu.
Bagaimana Marc bisa tak peduli jika jiwa sebaik, semurni dan setulus Steven berakhir di gundukan pasir yang kotor dan gelap ini? Itu sangat tidak adil! Ia hanya pantas mendapatkan tempat terbaik. Tempat yang penuh ketenangan dan kebahagiaan. Ia sudah cukup menderita selama hidup di dunia-terjebak bersama Marc dan dunianya yang kejam. Kenapa ia harus mendapatkan yang lebih mengerikan saat sudah meninggal?
Marc membungkuk ke depan, memegang kedua bahu Steven dengan lembut selagi membenturkan dahi mereka. "Maafkan aku.... Aku tak bisa membawamu ke padang alang-alang. Atau setidaknya... pulang."
Steven menggeleng-geleng, membuat dahi mereka bergesekan dengan lembut. Bibirnya mengucingkan senyum. Getir tapi tulus. Dan itu hanya membuat hati Marc lebih perih dari yang sudah-sudah. "Pulang ke mana, Marc? Rumahku adalah kau."
Dalam berbagai macam alasan, kalimat itu berarti segalanya baginya. Tapi Marc tidak tersenyum, apalagi tertawa. Hell, mana mungkin ia bisa. Steven terlalu baik. Selalu terlalu baik (dan polos), sehingga tak bisa melihat bahwa ia jauh dapat yang lebih baik daripada ini. Marc terkadang kesal karena Steven tak bisa melihat betapa berharganya dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Headmates
Romance"You are the only real super power I ever had." Marc mengira Steven tidak bisa mendengarnya kala itu. Kalimat itu memang pendek, tak lebih panjang dari untaian pita yang biasanya menjadi hiasan bunga pernikahan, namun itu sudah lebih dari cukup untu...