Nina menutup pintu kamar sepelan mungkin, air mata tak dapat ditahan lagi oleh Nina. Tubuhnya, hatinya dan pikirannya terasa sangat sakit. Bahkan jika saat ini ia menepuk dengan keras dadanya, sakitnya tidak bisa hilang.
Ini salahnya, ini salah Nina sendiri. Seharusnya dia tau sejak awal jika mencintai seseorang yang tidak bisa melupakan masa lalunya akan sesakit ini.
Nina menangis, menangis tanpa suara, untuk kali terakhir. berharap esok hari akan memberikannya energi baru untuk menghadapi kenyataan pernikahannya.
Sepeninggal Nina, Rama masih tidak bergerak dari posisi terakhirnya. Matanya menatap kosong kearah depan. Tak lama pria itu menyugar rambutnya dengan keras, apakah dia sudah keterlaluan ?
Apakah seharusnya dia tidak boleh mengkhawatirkan Rani lagi ? namun tak dapat dipungkiri ada rasa bersalah yang menjalar keruang hatinya.
Rama menyadari kalau selama mereka menikah, Rama tidak bisa mengembangkan perasaannya pada NIna. Apakah memang seharusnya mereka tidak menikah ?
Kali ini Rama merebahkan tubuhnya diatas kasur, pungggung tangan kanannya menutup matanya.
**
"Mulai besok Nina berangkat sendiri, Mas Rama nggak perlu anter Nina lagi" lugas Nina saat mereka tengah menyantap makan malam mereka.
Perlahan Rama menaikkan pandangannya, dari balik bulu matanya yang panjang Rama bisa melihat raut wajah Nina yang murung.
"Kenapa ?"
Nina menarik satu sudut bibirnya, tersenyum miris menatap makanan dihadapannya tanpa mau melihat kearah Rama.
"Kan Nina udah bilang, Nina mau kasih ruang buat Mas Rama" dan membiasakan diri tanpa kamu, sambung Nina dalam hatinya.
Rama memejamkan matanya, nafasnya terhembus keras. "Memangnya dengan kamu kasih aku ruang, ada yang berubah diantara kita ?"
Nina mendongak cepat, apa kata Rama ? tentu saja akan ada yang berubah ! Pekik Nina dalam hatinya.
"Iya"sahut Nina cepat.
"Apa ?"
Nina mengulum bibir bawahnya, "iya, ini bukan ruang untuk Mas Rama, tapi buat Nina! Nina rasa Nina harus mulai membiasakan diri tanpa Mas Rama" dada Nina bergerak naik turun. Panas menggenangi pelupuk matanya.
"Kenapa kamu harus membiasakan diri tanpa aku ?! " Suara Rama naik satu oktaf.
Nina membalas tatapan Rama " Mas! Mas Rama sadar nggak sih, Mas Rama keterlaluan!"
"Maksud kamu ?" Tanya Rama tak terima.
"Jelas jelas tadi malam Mas Rama sendiri yang ngaku kalau Mas Rama masih cinta sama Rani! terus Mas Rama berharap Nina harus gimana ?"
"Terus kamu mau aku gimana Nina ? memang betul aku minta waktu untuk membiasakan diri, untuk menerima kamu sebagai istri." Rama mengetuk ngetuk jari telunjuknya diatas meja.
"tapi bukan berarti aku nggak serius sama kamu, bukan berarti aku main main sama yang namanya pernikahan" desis Rama.
"oh, dan satu lagi. Aku nggak bilang kalau aku masih cinta sama Rani" sambung Rama.
"Emang nggak, tapi Mas Rama bilang kalau semua ini abu abu. udah jelas banget kan kalau Mas Rama memang masih memiliki perasaan sama dia" emosi Nina mulai memuncak. Apa Rama tidak sadar kalau dia sudah keterlaluan ? bagaimana mungkin pria yang sudah beristri mengaku masih mengkhawatirkan wanita lain.
Jauh didalam lubuk hatinya, Nina sungguh menginginkan Rama seutuhnya. Nina tau Rama bukan pria yang tidak bisa dipegang omongannya.
Tapi melihat Rama yang masih mempedulikan Rani, sungguh membuat hati Nina terusik. Nina tau kalau Rama tidak atau belum mencintainya, justru itu yang menjadi kekhawatiran Nina.
"Sekarang aku tanya sama kamu, kamu mau aku gimana ? apa yang kamu permasalahkan sebenarnya?" Sambung Rama masih menatap lekat Nina yang sedari tadi menyembunyikan tangisnya.
Jujur saja, Rama sama seperti kebanyakan pria. Tak suka bila melihat ada wanita yang menangis dihdapannya, hal ini juga berlaku untuknya. Rama tak suka melihat Nina menangis dihdapannya, hatinya merasa bersalah.
"Masalahnya udah jelas kan mas... Nina nggak mau suami Nina masih memikirkan wanita lain. Masih mengkhawatirkan wanita lain" suara Nina kini terdengar lebih stabil.
Rama menghempaskan punggungnya kesandaran kursi. Menghela nafas keras "Nin, aku cuma khawatir sama Rani. Aku bukannya lagi selingkuh"
Nina tertawa, tertawa kosong. Apa kata Rama tadi ? cuma khawatir ? bukan selingkuh ?
"Mas, Mas Rama sendiri yang bilang nggak mau menciptakan kesalah pahaman. Tapi kenapa sekarang Mas Rama malah berbuat begitu ? apa bagi Mas Rama, perasaan Nina itu nggak penting ?"
Nina menarik nafasnya, dadanya terasa sesak. Bagaimana Rama dengan entengnya berucap kalau dia hanya khawatir dengan wanita lain ?
Apakah perasaan Nina tidak penting baginya ?
"Awalnya mas merasa khawatir, terus apa ? mas bakalan selalu nemuin dia tiap kali dia merasa kalau dia membutuhkan bantuan mas. Lalu, perasaan yang seharusnya nggak ada malah akan timbul lagi!" papar Nina.
Nina bukannya sedang khawatir tanpa alasan, bukannya sedang cemburu buta tanpa alasan. Semua ini sangat masuk akal bagi Nina, wajar kalau Nina merasa khawatir mengenai masa depan hubungannya dengan Rama.
"Emangnya aku bilang bakalan selalu nemuin dia tiap kali dia butuh aku ?" sanggah Rama tak mau kalah. Nina tidak bisa seenaknya menuduh Rama. Rama bukan pria seperti itu, batin Rama tidak bisa terima.
"Mas ! kekhawatiran Mas itu nggak penting. Dia bukan keluarga Mas Rama ! nggak perlu khawatir, yang seharusnya mas Rama khawatirin itu Nina Mas !"
"Apa yang harus aku khawatirin ?" tanya Rama balik.
Nina menghela nafas, berusaha menyalurkan segala emosi dalam dada melalui hembusan nafasnya. Mengapa Rama tidak mau mengerti ?
"Mas..." panggil Nina dengan suara setegar mungkin. Mata Nina menatap mata Rama dengan sungguh sungguh.
"Nina minta maaf, karena Nina pikir dengan menikah dengan mas Rama, dengan memiliki mas Rama itu udah cukup buat Nina."
Nina membasahi tenggorokan nya yang terasa kering,sebelum melanjutkan.
"ternyata Nina salah, Nina salah mas. Semakin lama Nina justru semakin menginginkan perasaan Mas Rama seutuhnya. Nina bahkan nggak mau kalau didalam pikiran Mas Rama masih ada orang lain."
"Nina mau hati mas Rama seutuhnya, Nina nggak bisa terima kalau Mas Rama masih menghawatirkan wanita lain. Nina nggak mau Mas Rama berhubungan dengan dia lagi, entah apapun itu"
"Nina nggak peduli kalau Mas Rama anggap Nina kekanakan, tapi yang jelas, itu isi hati Nina yang sebenarnya"
Rama merasakan dingin disekujur tubuhnya, kejujuran Nina bak hembusan angin musim dingin yang membelai tubuh Rama.
Rama bahkan kehabisan kosa kata dalam benaknya, entah apa yang bisa dia katakan untuk membalas Nina.
"Please Mas, Nina mohon. Nina nggak bisa kalau Mas Rama belum selesai. Sampai kapanpun KITA nggak akan bisa memulai kalau Mas Rama belum selesai dengan masa lalu Mas Rama" Nina sengaja menekankan kata KITA pada kalimatnya.
Karena memang benar, tidak ada yang bisa mereka mulai jika Rama sebenarnya masih belum selesai dengan masa lalunya.
"jadi, tolong Mas Rama selesaikan masa lalu Mas Rama, kalau enggak..." Nina terdiam, sudut hatinya tak ingin melanjutkan kata katanya. Tapi Nina harus mengatakannya dengan jelas.
Rama yang menatap Nina sejak tadi, tidak bisa melepaskan pandangannya. Menanti kata yang akan keluar dari bibir Nina. "Kalau enggak apa ?" tanya Rama mencoba memastikan.
"Kalau enggak, kita yang akan selesai" ucap Nina dingin.
.........................................
Selamat Malam sayang sayangkuu,
Rama dan Nina hadir untuk menemani para pembaca setia.
Silahkan, yang terbawa emosi, boleh mengeluarkan sumpah serapah. Tapi jangan buat penulis ya, ntar saya nggak mood.
See you
KAMU SEDANG MEMBACA
RamaNina (End)
Romanceini kisah Rama dan Nina. Kisah Nina yang selalu mengejar Rama, kisah Rama yang tidak pernah mengakui perasannya. Walaupun diacuhkan berkali kali, Nina tetap kembali pada Rama. Tidak ada rotan akar pun jadi, mati satu tumbuh seribu. Berbagai macam pe...