Pilihan🌸

7.1K 593 31
                                    

Let's get it started!

💎💎💎

Gisella sudah banyak merasakan hal pahit dalam hidup dan yang paling membekas adalah kepergian Mama Papa. Gisel yang saat itu berumur sepuluh tahun bersama Mama dan Papa mengalami kecelakaan hebat di perjalanan menuju rumah Kakek. Sebuah truk tangki menghantam mobil keluarga Gisel, menyebabkan roda empat yang ditumpagi keluarga kecil itu terlempar jauh. Akibat itu Mama dan Papa tewas di tempat meninggalkan Gisel kecil yang harus koma selama seminggu.

"Kek, mama papa mana? Kok ngga ada?" Tanya Gisel setelah beberapa menit siuman. Sang Kakek bungkam, pria beruban itu tak sanggup membuka birainya. Sedangkan Sandra - tante Gisel sudah menangis di pelukan sang suami manakala gadis kecil itu menyebut orang tuanya.

"Kek, Mama Papa mana?" Tanya Gisel sekali lagi.

"Dengar Kakek Gi..." Sang kakek menggenggam tangan kecil Gisel.

"Apapun yang Kakek katakan Gisel harus terima ya. Semua yang terjadi sudah menjadi ketentuan Allah. Kita semua sayang Mama dan Papa tapi Allah lebih sayang sama mereka." Untuk anak umur sepuluh tahun mungkin akan sulit mencerna kalimat itu. Tapi itu tidak berlaku bagi gadis cerdas seperti Gisella.

"Mama... Papa..." nafas Gisel tercekat. Dadanya bergemuruh hebar, sesuatu tak kasat mata seolah menusuk jantungnya. Lalu cairan bening itu mengalir di kedua pipi.

Gisel menangis sampai nafasnya tersendat, sampai air matanya terasa tak bisa mengeluarkan cairan lagi.

Hari itu menjadi awal dimana Gisel menjalani kehidupannya tanpa Mama dan Papa. Tak ada lagi pelukan Mama, tak ada lagi candaan Papa, tak ada lagi liburan bersama, dan tak ada lagi sambutan saat Gisel pulang sekolah.

Seolah belum puas memberi benturan pada hidup, Tuhan kembali menguji Gisella. Setahun kemudian Kakek berpulang karena penyakit jantung yang dideritanya. Lagi-lagi Gisel kehilangan sandaran. Saat itu Gisel kembali menangis hebat.

Kehidupan pun berlanjut, Gisel tinggal bersama Sandra dan Robin hingga lulus SMP, memasuki SMA Gisel memutuskan untuk tinggal sendiri di rumah orang tuanya.

"Kamu yakin, Gi? Tinggal sendiri itu ngga gampang, loh. Kalau kamu sakit siapa yang rawat? Terus kalau ada apa-apa sama kamu gimana? Udah paling bener kamu sama kita di sini. Biar kamu ada temennya juga, sayang." Kata Sandra kala itu.

Gisel tersenyum haru, pasangan suami istri itu sudah menganggap Gisel seperti anak sendiri. Gisel bersyukur memiliki keduanya.

"Yakin kok, Mi. Gisel udah gede, pengen mandiri. Boleh, ya? Nanti Gisel sering-sering kasih kabar dan balik ke sini juga kok." Bujuk Gisel sekali lagi. Melihat keyakinan sang keponakan, Sandra dan Robin pun menyetujui keputusan Gisel.

"Tapi Abi sama Umi bakal sering jengukin kamu. Satu lagi Abi akan kirim penjaga di sekitar rumah sama Bi Darmi. Biar kamu ngga sendiri dan ada yang jagain."

"Siap komandan!"

Waktu berlalu Giselpun lulus dan memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya, merantau ke Jakarta dengan beasiswa.

Menjalani kehidupan sebagai mahasiswa beasiswa di Univeraitas Garuda itu tidak mudah. Cibiran sana sini dan tatapan rendah sering Gisel dapatkan. Kadang jika sedang sial, Gisel juga akan di bully.

Tapi sekali lagi, Gisel sudah banyak merasakan kepahitan dalam hidup. Semua itu tidak ada apa-apanya.

Tidak sampai Aji melakukan hal gila padanya.

Sejak Aji melepaskan kungkungannya, Gisel tak memejamkan mata sedetikpun. Gadis itu menangis dalam diam, tanpa suara hingga pagi menjelang. Duduk dengan hanya berbalut selimut. Tubuhnya terasa remuk, wajahnya bengkak, pandangan kosong, tapi lebih dari itu hati Gisel hancur berkeping-keping.

Bagaimana tidak, dirinya dihancurkan oleh lelaki yang ia cintai. Lebih sakit lagi, Aji melakukan itu karena pelampiasan emosi.

Karena terlalu larut dalam kesedihan, Gisel sampai tak menyadari pergerakan di sebelahnya.

Aji membuka mata, lelaki itu hampir berteriak saat menemukan punggung telanjang seseorang gadis di atas kasurnya. Mendudukkan diri, kepala Aji tiba-tiba terasa pening. Sepertinya gadis itu tidak menyadari pergerakan yang Aji lakukan.

Aji mendesis, kepalanya terasa berputar. Hal itu membuat sang puan menolehkan kepalanya. Dan Aji melihatnya, penampilan hancur dari seorang Gisel di atas ranjangnya. Serta wajah terluka gadis itu.

Aji sepenuhnya mendudukkan diri melihat keadaannya yang tak jauh beda dari Gisel.

Bangsat! Lo ngapain semalem, Ji!

"Gis.. gue.." bibir Aji terasa kelu, otaknya tiba-tiba tidak bisa memikirkan kalimat apapun.

Belum selesai dengan keterkejutannya, Aji merasa waktu berhenti manakala pintu kamarnya di buka dan menampilkan sosok Bunda dan Ayah di sana.

Anjing!

Waktu terasa begitu cepat, Aji tidak tau sejak kapan Bunda dan Ayah mendekat serta satu tamparan keras mendarat di pipinya.

"Radhitya Aji Bimasena! Saya tidak pernah mengajarkan kamu untuk jadi lelaki brengsek!"

Suara tegas ayah menggelegar di kamar Aji. Wajah tegas itu kian menakutkan saat kemarahan memenuhi dirinya. Selama dua puluh dua tahun hidup, baru kali ini Aji melihat ayahnya semarah ini.

Tentu. Beliau pasti kecewa. Sejak kecil, Aji selalu diajarkan untuk menghormati perempuan dan kejadian pagi ini cukup membuat Ayah di sulut emosi dan perasaan kecewa. Sedangkan Bunda, wanita itu sudah menangis.

"Pakai baju mu dan keluar! Ayah mau bicara." Sang kepala keluarga keluar dengan langkah lebar diikuti Bunda di belakangnya. Aji beringsut tanpa kata, melakukan perintah sang Ayah. Meninggalkan Gisel yang masih terdiam tak tau harus melakukan apa.

Setelah membersihkan diri, Aji meletakan beberapa helai pakaian di atas nakas. Sebelum berlalu, Aji berujar.

"Bersihin diri lo. Gue tunggu di ruang tengah."

"Bisa kalian jelaskan apa yang terjadi di sini?" Suara dingin Ayah menguar memecah keheningan. Kedua muda mudi itu tertunduk. Pandangan tajam lelaki paruh baya itu layangkan pada sang putra.

"Aji. Jawab!" Tegasnya sekali lagi.

"Ini salah Aji, Yah. Semalem Aji mabuk berat dan..." kalimat itu tertahan, Aji menggulirkan bola mata pada gadis di sebelahnya. Aji tidak bisa melihat raut wajah Gisel karena sedari tadi gadis itu terus menunduk.

"Aji ngelakuin kesalahan sama Gisel."

"Kamu bukan pacar Aji. Apa kalian berselingkuh dari Rania?" Tanya Bunda dengan suara lembutnya.

"Enggak gitu, Ma. Aji sama Rania udah putus."

"Terus? Dia pacar baru kamu?"

"Bukan. Dia... dia temen Aji, Bun. Terserah kalian mau anggapnya gimana, tapi Gisel cuma korban di sini. Sepenuhnya salah aku." Tatapan Aji beralih pada Gisel.

"Gis, lo boleh pukul gue sepuas lo. Sekalian bunuh gue juga ngga apa-apa. Gue bakal terima semua konsekuensinya.

"Bukan begitu caranya." Sanggah si kepala keluarga.

"Ayah kamu benar, bukan begitu caranya."

"Terus Aji harus gimana, Bun. Kesalahan Aji ngga bisa di maafin. Aji udah rusak masa depan Gisel." Ujar Aji frustasi. Ia bahkan tak mengingat kejadian apapun.

"Bagus kalau kamu sadar. Karena itu kamu harus bertanggung jawab." Pungkas lelaki paruh baya. Melihat Gisel yang bahkan tak berani mengangkat kepala, Ayah tau gadis itu amat terluka.


"Nikahi Gisel."

__________

SurreptitiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang