Tengah Malam🌸

6.1K 581 31
                                    

Happy reading!

________

Aji menutup ponsel setelah permainan berakhir. Maniknya melirik pintu kamar lalu kembali ke jam digital di atas nakas. Pukul sebelas lewat empat puluh lima menit. Itu artinya ia sudah bermain game selama satu jam. Dan sejak itu pula tak ada tanda-tanda kedua wanita itu akan kembali.

Ralat, maksud Aji Gisel.

Sebenarnya kalau Bunda Aji tak heran,  sudah pasti sang Ibu kembali ke kamarnya. Tapi Gisel? Bukankah seharusnya gadis itu kembali ke kamar Aji? Lalu kenapa sampai detik ini pintu kamarnya tak kunjung terbuka? Apa iya mereka masih berbincang? Memangnya topik apa yang mereka bahas? Atau Gisel diam-diam pergi ke kamar tamu untuk menghindari tidur bersamanya? Kalaupun iya, bukankah seharusnya Gisel memberitahunya? Setidaknya Aji tak perlu riasu seperti ini.

Tunggu! Kenapa kesannya Aji sangat menunggu kedatangan Gisel?

Aji menggeleng cepat-cepat. Kalaupun Gisel menolak tidur bersama, memangnya kenapa? Itu sudah menjadi kesepakatan mereka sejak awal pernikahan.

Sial!

Tapi mereka masih di rumah orang tua Aji. Bagaimana jika mereka curiga?

Sesi overthingking berhenti kala pintu kamar terbuka. Menampilkan objek utama buah pikiran Aji beberapa saat lalu. Aji mengernyit, wajah Gisel terlihat lesu dan... sembab?

"Lo nangis?" Tanya Aji sesaat setelah Gisel meletakkan mug berisi cokelat panas ke atas nakas. Tak langsung menjawab, Gisel memilih duduk di lantai. Menyandarkan tubuh lelahnya pada sisi kasur.

"Hey, are you okay?" Tanya Aji lagi lalu ikut mendudukkan diri di sebelah Gisel.

"Maafin gue." Vokal Gisel mengudara, ditatapnya iris cokelat Aji. Lelaki itu seperti meminta penjelasan.

"Maaf karena gue belum bisa nerima lo sepenuhnya." Aku Gisel pada akhirnya.

Setelah konversasinya dengan Bunda, Gisel jadi memikirkan banyak hal. Salah satunya adalah lelaki yang kini menatapnya. Gisel mencintai Aji. Itu fakta. Perasaannya pada Aji menginginkan lelaki itu tetap bersamanya. Tapi di sisi lain kejadian malam itu masih kerap menghantui, menghadirkan kenangan buruk yang membuat Gisel merasa harus menjaga jaga jarak dari Aji sejauh mungkin.

Dan Bunda... wanita itu memiliki harapan besar pada pernikahan ini. Bagaimana perasaannya kalau beliau tau tentang perjanjian mereka?

"It's okay. Kalau gue jadi lo gue juga akan melakukan hal yang sama. Lagian siapa yang mau percaya sama orang yang udah ngerebut kesuciannya?"

"Can't we stop for talking about that night? Gue ngga suka setiap kali lo nyalahin diri lo sendiri."

Aji tersenyum getir. "But that's the fact. Gue emang berdosa sama lo."

"We are. Not only you. Dan gue ngga cukup buta buat ngga liat semua effort lo selama ini." Gisel mendongak, menahan cairan yang tiba-tiba ingin keluar. Kata-kata Bunda kembali terngiang di telinganya.

Padahal sebelumnya Aji engga pernah mau ikut andil dalam bisnis keluarga Bimasena. Dia tidak suka dunia bisnis, tapi karena kamu dia mau membuang egonya.

"Lo ngga perlu melakukan hal yang ngga lo suka demi gue, Ji."

Kini Aji mengerti, Bunda pasti sudah memberitahu gadis itu. Diraihnya tangan Gisel, lalu digenggam lemah.

"Gue suami lo, kalau lo lupa." Seulas senyum terukir pada birai Aji. "Dan yah... gue ngga mungkin minta duit sama Ayah terus, kan?" Candanya.

"Maaf karena gue egois. Gue terlalu fokus sama luka gue sendiri sampai ngga sadar kalau lo juga pasti dihantui rasa bersalah. Padahal lo juga pasti terluka karena masalah Rania, ngga ada yang baik-baik aja setelah ditinggal orang yang mereka cintai. Iya, kan?--" Gisel menatap tangan besar Aji, ada rasa hangat ketika tangan itu menggenggam miliknya.

SurreptitiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang