Another Fact🌸

4.8K 401 28
                                    

_____________

Happy Reading
______________

Aji menutup laptopnya. Meregangkan tubuh lantas meraba tengkuknya yang pegal. Sekarang sudah jam 9 malam, itu artinya sudah tiga jam ia mengerjakan revisi. Sejak itu pula, Aji tak beranjak dari meja belajarnya. Namun bukannya istirahat, Aji malah berniat lanjut mengerjakan berkas yang diberikan Ayah tadi pagi.

Lelaki itu meraih mug yang kini hanya tersisa ampas kopi di dalamnya. Aji menghela kemudian bangkit menuju dapur. Berniat membuat minuman baru.

Usai membuat minuman Aji berniat kembali ke kamar. Langkahnya terhenti lantaran suara bel. Awalnya biasa saja tapi detik berikutnya bunyinya makin tak santai. Aji yakin bahwa bel itu sengaja ditekan secara brutal. Aji berdecak. Ia melangkah malas menuju pintu apartemen.

Sebenarnya Aji enggan sekali membuka pintunya. Namun jika dibiarkan Aji tidak akan tenang. Cukup seminggu yang lalu Aji mendengar kultum mengenai adab bertetangga dari penghuni sebelah unitnya.

Karna tamu-tamu Aji memang se-bar-bar itu. Kalau lama buka pintu mereka bisa teriak-teriak mirip penghuni ragunan. Padahal waktu itu Aji lagi boker jadi doi ngga tau kalau ada yang pencet bel.

"Buset udahan napa ntar bel gue rus-- Loh? Ran?"

Pupil Aji melebar. Kaget. Bukannya Jevan atau Justin - si biang rusuh - melainkan Rania, Yoga dan Arjuna yang kali ini bertamu ke rumahnya. Bukan hanya itu, Aji turut dibuat bingung dengan Rania yang dipapah oleh kedua temannya. Wajah wanita itu pun terlihat pucat.

"Minggir!" Titah Yoga.

Aji reflek membuka pintu lebar-lebar. Memberikan akses pada Arjuna dan Yoga untuk membawa Rania masuk.

"Bawa ke kamar gue aja."

Sesuai perintah, Rania di bawa ke kamar Aji.

"Apa ngga sebaiknya dibawa ke rumah sakit?" Tanya Yoga sembari menatap wajah pucat itu. Pemuda itu dengan telaten membantu Rania menyamankan posisi.

"Engga usah, Yo." Jawab Rania.

"Lo yakin? Lo belom mau beranak, kan?" Arjuna menatap khawatir sekaligus ngeri melihat perut buncit mantan Aji itu.

Tadi saat bertemu Rania di depan gedung, Arjuna kaget bukan main. Apalagi setelah melihat wajah pucat disertai ringisan wanita itu. Doi hampir teriak minta tolong kalau saja Rania tak berujar lebih dulu.

Ga lucu kalau mereka jadi dukun beranak dadakan.

Rania menggeleng lemah. "Aku cuma kecapean aja. Mungkin karna abis jalan jauh."

"Lagian lo ada-ada aja, Ran. Perut udah segede gaban ngapain keluyuran. Malem-malem pula. Udah paling bener lo di rumah aja." Omel Arjuna. Doi beneran ga bisa ngebayangin Rania lahiran di jalan.

Kan Rendi masih di penjara. Kasian Rania nanti. Mana masih muda.

"Ngomel mulu lo bangsul." Aji datang lalu menoyor kepala Arjuna. Mengundang tatapan sengit dan wajah sebal si teman.

Lelaki yang mengenakan kaos putih polos itu menggeser Yoga yang berdiri di sisi Rania lantas memberikan segelas teh hangat pada wanita itu.

"Gimana? Udah baikan?" Tanya Aji setelah Rania menyesap minuman hangat itu.

Rania mengangguk lalu menggumamkan terima kasih.

"Kamu kenapa bisa ketemu mereka?" Tanya Aji.

"Eer-- itu--"

Rania menggigit bibir. Tidak mungkin ia mengatakan kalau sebenarnya ia sudah tiba sejam yang lalu. Hal yang membuatnya berdiri lama di depan gedung adalah rasa bersalahnya. Padahal satpam di sana sudah menawarkan diri ingin mengantar. Namun Rania terlalu takut menemui Aji. Kakinya seolah diberi beban berat sampai melangkah saja Rania tak mampu. Hingga berujung Rania hanya berdiri di depan gedung.

SurreptitiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang