Rumah kediaman Bimasena dipenuhi oleh suara canda tawa. Entah itu karena obrolan random, atau tingkah Justin dan Jevan yang kelewat absurd. Ada saja yang mereka tertawakan. Sedangkan Azwan sudah pulang sejak sore. Katanya ada janji.
Semua orang menikmati acara malam ini, termasuk Gisel. Sudah lama ia tak merasakan suasana hangat seperti ini. Setelah kepergian Mama dan Papa, Gisel lebih fokus untuk menyelesaikan pendidikannya. Berusaha mendapatkan beasiswa agar tak merepotkan Umi dan Abi serta bekerja paruh waktu untuk mencukupi biaya hidup. Walaupun kini ia sudah berhenti sejak menikah dengan Aji.
Lelaki itu memperlakukannya dengan baik. Terlepas dari kesalahan yang ia lakukan pada Gisel, Aji benar-benar menjadi sosok yang menjaganya. Dan berkat itu, Gisel perlahan lupa akan kejadian kelam yang membawa mereka pada status sekarang. Yang ia lihat hanya Aji, sosok suami yang bertanggung jawab.
Gisel tak ingin munafik, walaupun Aji menjadi salah satu orang yang memberinya kenangan buruk lelaki itu tetap menjadi nomor satu di hatinya. Bahkan kini perasaan Gisel kian tumbuh subur, membuat dirinya ingin bersifat egois. Ia juga ingin Aji merasakan hal yang sama.
Tapi, apa itu mungkin?
"Istirahat, Gi. Biar gue aja yang bakar." Aji muncul dari balik punggung, menggeser posisi Gisel yang berdiri di depan pemanggangan. Rombongan yang tadinya berkumpul disatu tempat kini sudah berpisah menjadi dua kubu.
Kubu laki-laki kini sedang bernyanyi bersama diiringi petikan gitar Justin. Sedangkan kubu perempuan duduk pada kursi yang tersedia.
"Bunda mau ngobrol katanya." Imbuhnya selagi fokus memanggang daging.
"Ngobrolin apa?" Aji mengendikkan bahu. "Udah sana. Ditungguin tuh."
Gisel melangkah pelan mendekati ibu mertua, wanita paruh baya itu tersenyum lebar kala mendapati Gisel kini duduk di sampingnya.
"Hai, sayang."
"Aji matanya jeli, ya. Tau banget yang bening-bening." Celetuk Wanda, Mama Jevan.
Gisel tersenyum canggung."Kalau kata Justin, ya. Si Aji kelewat hoki." Sahut Citra, Mama Justin. Mengundang tawa pada ketiga ibu di sana. Sedangkan Gisel hanya tersenyum singkat.
"Kata Mas Jinan Gisel juga anak beasiswa, Ma." Imbuh Luna, membuat para ibu berseru kagum.
"Yang bener?" Delik Citra. Maniknya melirik Aji yang sibuk memanggang daging. "Aji, kamu amalan apa dapet bini cantik sama pinter gini?" Serunya.
"Ngasih makan Justin, Ma!" Sahut Aji. Mendengar namanya di sebut, Justin menghentikan petikan gitarnya.
"Gue diem ye padahal, masih aja kena!"
Obrolan pun berlanjut. Perlahan Gisel mampu memasuki topik yang dibicarakan, hingga banyak sekali hal yang mereka bicarakan malam itu. Dari cerita Justin, Jevan, Jinan hingga Aji pun turut dalam perbincangan mereka. Gisel menyukainya, ia suka dengan suasana keluarga ini.
Sampai malampun semakin larut. Semua orang mulai berpamitan ke rumah masing-masing. Kecuali Jinan dan Luna yang memang akan menginap begitu juga Gisel dan Aji. Namun sebelum kembali ke kamar, Bunda kembali mengajak Gisel berbicara.
"Ikut Bunda bentar, yuk." Ajak Bunda. Langkah Gisel dituntun pada salah satu kamar dengan tulisan 'Adista's Room' menggantung di pintu. Mengikuti ibu mertua Gisel ikut memasuki kamar bercat soft pink yang masih terlihat bersih walau sudah lama tak dihuni.
"Ini kamar Adista. Anak bungsu kami. Dia terlahir dengan kondisi jantung yang lemah." Bunda mulai bercerita, Gisel ikut mendudukkan diri di atas kasur. Maniknya menemukan sebuah foto di atas nakas. Di sana ada Aji yang sedang memangku seorang anak perempuan.
"Semua orang menyayanginya, Gi. Dia anak perempuan satu-satunya di keluarga Bimasena." Bunda menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir begitu saja. Mengingat Adista selalu berhasil membuat matanya basah.
"Bahkan Justin dan Jevan sudah seperti kakak kandung bagi Adista." Bunda terkekeh mengingat betapa protektifnya dua keponakannya itu, bahkan melebihi Aji dan Jinan yang notabenenya kakak kandung Adista.
"Allah lebih sayang Adista, Bun. Gisel yakin Adista juga udah bahagia di sana." Gisel memeluk ibu mertuanya, menyalurkan kekuatan. Tak ada yang baik-baik saja setelah perpisahan, baik itu berpisah hidup atau mati sekalipun. Sebagai orang yang sudah berteman dengan kepergian, Gisel sangat memahami perasaan Bunda.
Mau apapun bentuknya, yang namanya perpisahan pasti selalu menyakitkan.
"Kita semua terpukul setelah Adista dinyatakan meninggal. Tapi Aji yang paling parah, Gi. Dia bahkan sulit diajak bicara, Aji lebih sering keluar malam, kuliahpun Bunda dapat laporan kalau Aji sering bolos."
"Bunda ngga pernah liat dia sekalut itu. Tapi Bunda juga ngga bisa berbuat apa-apa. Dia butuh waktu sendiri, dia butuh waktu buat nerima semuanya." Bunda mengusap pipi, lalu menarik nafas singkat.
"Sampai suatu hari, Aji tiba-tiba meluk Bunda. Erat banget, setelahnya dia minta maaf sama Bunda. Bunda ngga tau apa yang terjadi, tapi Bunda seneng karena Aji udah kembali."
Gisel menyimak dengan seksama, tak satupun kalimat yang ia lewatkan. Walaupun ia sudah mengetahui cerita ini dari Karina ia tetap ingin mendengarkan kisah ini.
"Yoga bilang, Aji mau ngomong lagi setelah baca sticky note warna biru. Sampai sekarang engga ada yang tau tulisan apa yang ada di sana dan siapa pengirimnya. Tapi siapapun itu, Bunda mau berterima kasih. Karena udah mengembalikan Aji seperti dulu."
Gisel mengulas senyum kala maniknya menatap Bunda. Tangan wanita itu mengusap pipi gembil Gisel.
"Kamu tau sayang? Kamu itu seperti sticky note biru bagi Aji." Gisel mengernyit.
"Dia banyak berubah, Gi. Tentunya dalam hal yang positif. Kamu tau? Sejak menikah, dia sudah mulai belajar mengelola perusahaan. Padahal sebelumnya Aji engga pernah mau ikut andil dalam bisnis keluarga Bimasena. Dia tidak dunia bisnis, tapi karena kamu dia mau membuang egonya." Seulas senyum tipis hadir pada birai wanita paruh baya.
"Dia sering cerita ke Bunda tentang kamu. Bunda engga pernah denger dia se-exited itu cuma buat ceritain cewek. Bahkan Rania sekalipun."
"Bunda tau dosa Aji sama kamu, Bunda tau keputusan untuk menikahkan kalian itu sangat merugikan kamu. Tapi, gilanya Bunda malah bersyukur kamu mau menerima pernikahan ini disaat kamu harus menahan luka karena ketemu sama Aji setiap hari."
Bunda menarik nafas singkat, tangannya menghapus jejak air mata. Lalu menggenggam tangan Gisel.
"Maafin Bunda, sayang. Maafin Aji." Kini giliran Gisel yang menangis. Bunda menarik gadis itu ke dalam dekapan.
Gisel menangis bukan karena mengingat kejadian kelam malam itu. Namun ia menangis karena baru menyadari bahwa, Aji... lelaki itu selama ini sudah berusaha keras untuknya. Itu semua untuk tanggung jawabnya. Untuk Gisel.
Dan untuk fakta ini, Gisel ingin sekali mengakui bahwa ia tak ingin melepaskan Aji.
____
Larasati Adista Bimasena
____
Yo! Double update nih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Surreptitious
RomanceTentang Gisel yang mencintai Aji bertahun lamanya dan Aji yang hanya mengenal Gisel sebatas nama. Start on : Juli 2022. End : Febuari 2023