Sakit🌸

6.1K 521 56
                                    


Happy reading!

_______


Ini hari minggu jika biasanya Gisel sengaja bangun siang, kali ini ia bangun lebih pagi. Makanya untuk membunuh rasa gabut  Gisel lantas membersihkan diri. Lalu menuju dapur untuk masak sesuatu. 

Netra hazel itu menatap pintu kamar Aji, niat hati ingin membangunkan si pemilik kamar. Namun ia urungkan mengingat Aji pulang larut semalam. Gisel menghela napas. Sampai saat ini mereka belum bisa kembali berbicara seperti sebelumnya. Aji seolah memberi tembok besar diantara mereka.

Tak ingin larut dalam lamunan, Gisel memulai aksinya. Tiga puluh menit ia berkutat di dapur. Setelah menyajikan hidangan, Gisel melirik jam di ponselnya. Pukul tujuh lewat lima menit, masih terlalu pagi untuk sarapan. Gisel kemudian beralih membersihkan rumah, mencuci pakaian, sekalian menjemur. Jika biasanya ia akan dibantu Aji, biarlah kali ini ia kerjakan sendiri.

Jam sudah berada diangka sembilan saat Gisel selesai. Maniknya kembali menatap pintu kamar Aji yang masih tertutup rapat. Tumben sekali.

"Bangunin ga ya?" Gumamnya.

Ragu, Gisel takut ditolak atau paling parah Aji mengabaikannya seperti yang sudah-sudah.

"Ck. Aku lebih suka melakukannya dari pada mengkhawatirkannya."

Lagi pula, ia tak ingin makan sendiri hari ini. Langkah Gisel terayun pelan, sampai di depan pintu ia mengetuk sebanyak tiga kali. Satu menit Gisel menunggu namun pintu itu tak kunjung terbuka. Akhirnya Gisel memutuskan untuk masuk saja. Berhubung Aji memang tak pernah mengunci kamarnya, maka Gisel dengan mudah memasuki ruangan pribadi lelaki itu. Pemandangan yang Gisel dapatkan adalah Aji yang masih terlelap dengan posisi miring.

"Ji, bangun. Sarapan yuk." Gisel menepuk kecil bahu lelaki itu tapi tak mendapat respon sama sekali.

"Buset. Lo tidur udah kaya orang mati." Gisel bersungut karena usahanya tak membuahkan hasil. Gadis itu menarik pelan bahun Aji hingga tubuh lelaki itu kini terlentang. Gisel mengernyit mendapati bibir pucat Aji.

"Yaa ampun lo panas banget!" Pekik Gisel setelah memeriksa suhu tubuh lelaki itu. Gisel berderap mengambil kompres.

"Lo jarang di rumah, sekalinya di rumah bikin orang panik. Untung gue sayang." Gisel bicara sendiri.

Ia menertawakan dirinya yang pengecut. Sampai saat ini ia belum berani mengungkapkan perasaannya. Bahkan distatus mereka yang sekarang. Gisel tetap merahasiakannya. Ia lebih suka menatap Aji diam-diam seperti ini.

"Buat gue jatuh cinta sama lo."

"Gue tau ini gila. Tapi gue mau jatuh cinta sama lo."

Ingatan Gisel melayang pada malam ciuman pertama mereka. Malam dimana Gisel merasa bahwa Aji benar-benar melihat keberadaanya.

"Apa gue gagal, Ji?" Tangan Gisel bergerak mengusap pipi Aji. Menatap sendu wajah yang kini terlelap dengan nafas teratur. Kini Aji tak sepucat tadi.

"Gue ga bisa ngalahin Rania. Dia... terlalu berarti buat lo." Gisel menghapus air mata yang tiba-tiba jatuh. Sungguh, kenapa kisah hidup dan cintanya miris sekali?

Benar kata orang, jangan menerima seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya. Walaupun tak melihat langsung. Gisel tau. Ia memperhatikan Aji sejak dulu. Berdasarkan pengamatan yang ia lakukan, hanya satu orang yang bisa membuat Aji melupakan sekitarnya, hanya satu orang yang bisa membuat Aji jatuh ke titik terendah. Hanya satu orang yang mampu membuat Aji menegak berbotol-botol alkohol hingga membuat kesalahan fatal.

SurreptitiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang