Ribut🌸

5.9K 574 3
                                    

Tindakan Aji menarik seluruh atensi penghuni kantin. Semua orang menatapnya. Gisel tidak suka. Tatapan rendah itu mereka layangkan padanya. Seharusnya Gisel diam saja, ia tidak perlu melawan Anya. Lihatlah sekarang, orang-orang pasti penasaran dengan hubungan mereka.

Bagaimana jika mereka tau?

Tidak! Sudah cukup Gisel menerima cacian karena status mahasiswanya. Orang-orang tidak boleh tau hubungannya dengan Aji.

"Ayo, Gi." Suara Aji membuyarkan lamunan, Gisel ditarik. Gadis itu cukup kewalahan mengimbangi langkah lebar lelaki itu. Aji membawanya ke mobil. Beruntung parkiran Fakultas Hukum tidak jauh dari kantin Univ.

"Gi, are you okay?" Aji bertanya khawatir, gadis itu enggan menatap lelaki di sebelahnya.

"Lo ngga kenapa-napa, kan?" Lagi, Aji bertanya. Namun tetap tak digubris. Gisel memalingkan wajah kala Aji hendak menyentuh pipinya. Menarik tangan, Aji lalu kembali menatap Gisel. Helaan nafas terdengar setelahnya.

"Sejak kapan Anya buli lo?" Pertanyaan itu berhasil membuat Gisel menatapnya. Aji menarik beberapa lembar tisu, lalu menyerahkan benda tipis itu pada Gisel.

"Lo ngga mau gue sentuh, jadi bersihin muka lo sendiri."

Mengerti jika si puan masih enggan berbicara. Setelahnya Aji membiarkan Gisel membersihkan diri. Sembari menunggu, Aji memutuskan untuk bermain ponsel. Keningnya berkerut kala mendapati begitu banyak notifikasi yang masuk. Ia menekan aplikasi berwarna hijau, melihat satu pesan dari Arjuna.

Juna Kebo
Gawat!
Base sama ig rame banget ngomongin lo sama Gisel
Fans lo pada ngamuk
Lindungin bini lo

"Lo harusnya ga ada di sana." Aji menoleh.
"Kita udah janji buat bersikap engga saling kenal di kampus."

"Dan biarin lo diperlakukan semena-mena? Gue ngga buta buat biarin itu terjadi."

Saat itu Aji, Yoga dan Arjuna baru tiba di kantin. Mereka dikejutkan oleh suara bentakan Lia. Penasaran, Arjuna sedikit mendekat. Maniknya membulat lucu kala melihat presensi Gisel tengah berdebat dengan Anya.

"Dan gue ngga selemah itu. Manusia kaya Anya bisa gue hadapin sendiri."

"Gi.."

"Sekarang liat dampaknya. Semua orang penasaran sama hubungan kita. Lo... mikirin perasaan gue ngga sih? Gimana kalau mereka tau?" Suara Gisel mengecil diujung kalimat. Ia mendongak berusaha agar cairan bening itu tidak luruh di depan Aji.

"Gisella, sekali lagi lo tanggung jawab gue, apapun yang terjadi sama lo itu akan jadi urusan gue."

Gisel menggigit bibir, kalimat itu terdengar manis. Namun terasa pahit bagi Gisel. Ia merasa sedang dikasihani. Lagi-lagi tanggung jawab, Gisel membenci kalimat itu. Semua yang Aji lakukan selama ini seolah hanya bentuk rasa bersalahnya.

Dan Gisel semakin benci bahwa fakta itu benar. Dalam hati kecilnya Gisel berharap Aji benar-benar menganggapnya sebagai istri secara tulus. Bukan hanya dibayangi rasa bersalah dan rasa tanggung jawab.

"Gue tau kita suami istri, tapi lo harus inget satu hal." Gisel menatap Aji tepat pada manik boba itu. "Pernikahan ini cuma bentuk tanggung jawab. Gue berterima kasih karena lo udah mau peduli. Tapi gue harap cukup sampai di sini."

Aji bergeming. Entah untuk alasan apa hatinya terasa seperti tercubit. Kenapa Gisel seolah ingin mendorongnya begitu jauh?

"Kenapa?"

"Karena gue takut." Air mata sudah menggenang.

"Lo ngga tau seberapa banyak orang yang akan nyerang gue kalau mereka tau status kita yang sebenarnya! Gue cuma mau kuliah gue selesai tanpa gangguan apapun."

Gagal. Gisel gagal menahan tangisnya. Gadis itu terisak. Usahanya selama empat tahun terakhir seakan sia-sia. Susah payah Gisel menyebunyikan diri, entah itu dari pandangan orang-orang taupun rasa cintanya pada Aji.

Dan semuanya hancur dalam sekejap. Sebentar lagi semua orang akan tau siapa dirinya.

"Lo egois!" Ujar Aji dingin. Ia memegang kedua bahu Gisel, menatap hazel yang kini sembab.

"Lo bersikap seolah lo ngga punya siapa-siapa di dunia ini! Lo pikir bisa ngadepin manusia kaya Anya sendiri? Engga, Gi! Lo butuh orang lain. Lo tetap butuh telinga buat dengerin keluh kesah lo. Lo tetap butuh bahu buat tempat lo bersandar. Lo bisa sendiri?" Aji mendengus.

"Jangan sombong! Karina dan Lia selalu ada buat lo, inget Umi Abi? Mereka juga selalu ada buat lo. Semua itu adalah alasan lo bisa sampai di titik ini." Air mata Gisel kian deras, Aji sedikit mencengkram bahu sempit itu. Mencoba menyalurkan rasa pedulinya.

"Sekalipun status kita ngga kaya sekarang, gue akan tetap bediri di depan Anya." Tatapan Aji melembut.

"Dan lo pikir, gue akan diem aja kalau orang-orang itu nyerang lo?" Gisel mendongak, dilihatnya wajah tegas Aji.

"Gue bukan pengecut."

Aji beringsut mengusap air mata Gisel. Detik selanjutnya tubuh ringkih itu tenggelam dalam dekapan. Aji mengerti, Gisel sedang ketakutan.

"Jangan takut. Ada gue di sini." Ujarnya disela pelukan. Setelah merasa cukup tenang, Gisel menjauhkan diri.

"Baju lo basah." Gisel menunduk, Aji benar bajunya basah. Ia bahkan tak menyadari keadaannya.

"Pake ini dulu. Lo ada bimbingan hari ini, kan? Ribet kalau pulang dulu." Aji menyerahkan kaos hitam pada Gisel.

"Ngga usah, gue pakai baju ini aja." Tolaknya.

"Dan biarin orang-orang liat daleman lo?" Gisel mendelik, ia kembali menunduk. Reflek menyilangkan tanga di depan dada.

Sial! Harusnya ia tidak memakai kemeja putih hari ini.

"Gimana? Pakai sendiri atau gue yang pakein?"

Aji mengulum senyum. Gisel memerah.

"C-cepatan keluar!"

"Iya iya. Takut amat gue liatin, padahal udah keliatan dari tadi sih."

"KELUAR SEKARANG ATAU LO GUE TENDANG!"

Gisel mendorong Aji keluar lalu menutup pintu mobil secara kasar.

Dasar sialan!

Gisel merutuki dirinya yang ceroboh. Buru-buru ia mengganti baju. Sementara Aji lelaki itu terkekeh. Ternyata benar kata Bunda pelukan bisa meredakan emosi seseorang.


Cekrek!

Aji mengernyit, ia merasa mendengar sesuatu.

Cekrek!

Kepalanya bergerak cepat ke sumber suara. Maniknya menemukan seseorang dari balik pohon besar berjarak sepuluh meter dari tempatnya.

Aji berderap, ia yakin seseorang itu baru saja memfoto dirinya. Belum sempat Aji menemukan, sosok itu sudah kabur lebih dulu. Lelaki itu berdecak kesal.

Sial!

Apalagi setelah ini?

_______







SurreptitiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang