Pertiwi merasa hancur seketika. Pria ini, pria yang dihormati oleh keluarganya, telah menghancurkan hatinya sedemikian rupa. Putrinya, gadis kecilnya harus kehilangan masa depan karena perbuatan bejat pria ini. Rasanya ia tidak ingin percaya.
Ia mengenal Gatra sebagai pria terhormat, pengusaha sukses yang hidup lurus. Sepanjang hidupnya belum pernah ia mendengar rumor buruk tentang lelaki itu. Tapi hari ini, dari mulut lelaki itu sendiri ia mendengar pengakuannya yang mengejutkan.
"Apa salah Nara Om? Kenapa Om lakukan? Salah kami apa? Om sudah Mora anggap pengganti papa. Kenapa Om tega? Nara masih kecil Om!"
Jeritan Amora menggugahnya. Anak sulungnya itu memukul Gatra membabi buta tanpa perlawanan. Elang sedang berusaha melerai istrinya, namun Amora seperti kesetanan.
"Cukup! Hentikan Mora!"
Seketika Amora berhenti. Pertiwi berdiri tepat di hadapan Gatra. Mata yang penuh kesedihan menatapnya dalam-dalam.
"Kinara masih sangat muda. Dia bahkan jauh lebih muda dari Amora. Dia pantas jadi anak Anda. Apa yang ada dalam pikiran Anda waktu melakukan itu? Apa karena nafsu? Apa yang sudah dilakukan Kinara sehingga Anda tidak bisa menahan diri?"
"Ini semua salah saya," ujar Gatra. "Apa pun yang menyebabkan saya melakukannya, saya tetap bersalah. Memang saya tak seharusnya melakukan hal itu. Perbuatan saya tak termaafkan. Bahkan saya tidak bisa memaafkan diri saya sendiri. Saya tidak akan mencari-cari alasan. Kalian boleh mencaci maki saya. Saya akan menerimanya. Permintaan saya hanya satu. Ijinkan saya bertanggung jawab atas Kinara. Dengan penuh rasa hormat saya meminta Kinara. Saya berjanji akan membahagiakannya."
Gatra berlutut dan bersujud di depan Pertiwi.
"Apa Anda pikir akan semudah itu? Anda bertanggung jawab dan semuanya selesai? Kinara masih sangat muda. Dia belum terlatih menghadapi kerasnya hidup. Dia tidak akan sanggup menghadapi cemoohan orang atas kehamilannya di luar nikah. Apalagi jika ada yang menyebutnya sebagai pelakor. Anda sudah bertunangan dan akan menikah bukan?"
"Saya sudah memutuskan pertunangan saya. Saya tidak punya ikatan dengan wanita lain."
"Apakah tunangan Anda menerimanya? Jika ia tidak terima, itu juga akan membebani Kinara kan? Juga bagaimana dengan keluarga Anda? Apakah Anda sudah memikirkan bahwa semuanya akan menjadi sulit bagi Kinara?"
"Saya akan melakukan apa pun untuk melindungi Kinara. Apa pun! Kinara akan lebih aman bersama saya daripada di sini atau di luaran. Di luar ia akan lebih sulit menghindari gunjingan orang banyak. Saya bisa menyiapkan tempat yang aman untuknya. Saya berjanji. Saya juga tidak ingin Kinara lebih terluka."
"Sebaiknya Anda pulang. Saya akan memikirkan dulu keputusan yang harus kami ambil. Besok saya akan menjemput Kinara dan membawanya pulang," kata Pertiwi.
"Mungkin itu tidak bisa dilakukan."
"Apa maksud Anda?"
"Kondisi janin di kandungan Kinara sangat lemah. Begitu pula kondisi fisik Kinara. Dokter tidak akan mengijinkannya menempuh perjalanan jauh. Itu bisa membahayakan bagi mereka berdua."
Pertiwi terduduk lemas. Amora kembali menangis.
"Sebaiknya Om pulang sekarang. Kami akan segera mengabari Om. Kinara membutuhkan kita, sebaiknya kita tidak bertengkar," ujar Elang yang sedari tadi berdiam diri. Semua ini sangat mengejutkan baginya. Ia tidak bisa percaya begitu saja bahwa pria yang sudah dianggapnya orang tuanya sendiri ini melakukan perbuatan nista itu dengan sengaja.
Gatra bangkit. Memang sebaiknya ia pergi dulu. Biarlah mereka semua berpikir dengan tenang. Lagipula ia harus melihat keadaan Kinara.
"Baiklah. Saya permisi. Saya menunggu keputusan Ibu Pertiwi. Saya pamit." Ia mengulurkan tangan, tapi tak ada yang menyambutnya. Meski sedih, ia bisa mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
General FictionKisah seorang pria yang ingin mengulang waktu untuk memperbaiki semua yang diakibatkan oleh kesalahannya. #cover dan gambar diambil dari Pinterest