20

2.3K 151 41
                                    

"Om beneran ayahnya Kak Elang?" tanya gadis itu.

"Bukan. Usia saya dan Elang hanya berbeda 15 tahun. Tidak mungkin kan anak umur 15 tahun punya anak?"

"Maksudku ayah angkat, Om."

"Ayah angkat juga bukan. Saya tidak pernah mengadopsi Elang. Saya hanya mengasuh Elang karena orang tuanya sudah meninggal dan dia tidak punya kerabat lain. Tapi saya memang menyayangi Elang seperti anak saya sendiri," jawab Gatra. "Kenapa?"

Gadis itu mengerjapkan matanya, tidak mengerti maksud pertanyaan Gatra. Hal itu membuat dada Gatra berdesir.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Gatra memperjelas pertanyaannya.

Kinara menggelengkan kepalanya. "Hanya ingin tahu. Saya dan Kak Mora ditinggal papa sejak masih kecil dan rasanya berat. Pasti Kak Elang lebih berat lagi karena kedua orang tuanya tiada dan dia tidak punya keluarga lainnya. Untung ada Om yang mau mengasuh dan merawatnya."

"Saya juga beruntung karena ada Elang di saat istri saya meninggal. Saya bisa sedikit melupakan kesedihan saya," kata Gatra. "Kamu percaya takdir? Kita dipertemukan dengan seseorang pasti ada tujuan di baliknya. Seperti saya dengan Elang. Saya dipertemukan dengan keluarganya dan menjadi dekat meskipun kalau dipikir hidup kami tidak bersinggungan, baik dalam pekerjaan, pendidikan, bahkan pergaulan sehari-hari. Tapi berawal dari hobi main tenis saya bertemu dengan ayah Elang, kami cocok dan dekat. Begitu juga keluarga kami. Ternyata kami mengalami musibah yang menyebabkan saya dan Elang saling bergantung."

Gadis itu terlihat tekun mendengarkan perkataan Gatra.

"Terkadang kita berpikir sesuatu itu tak mungkin terjadi, tapi takdir menjadikannya mungkin," lanjut Gatra. "Tidak ada yang tahu takdir kita di kehidupan mendatang. Saya dan kamu, siapa tahu ada takdir yang menghubungkan kita."

Senyum Gatra terbit melihat gadis itu tersipu.

"Berapa usiamu Kinara?"

"Dua puluh tahun Om"

"Umur saya 43. Seumur kamu saat saya pertama kali bertemu almarhumah istri saya. Waktu itu saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan menikah dengannya dan menduda setahun kemudian. Baru setelah saya lulus Program Master, kami dekat lalu berpacaran dan memikirkan pernikahan. Usia 28 saya menikah dan tidak pernah terpikirkan bahwa dia akan meninggalkan saya secepat itu. Hidup itu penuh rahasia dan penuh kejutan. Kita harus siap menghadapinya," ujar Gatra sembari mengingat masa lalunya.

"Istri Om pasti cantik dan baik."

"Kenapa kamu menyimpulkan begitu?"

"Karena, mmm," gadis itu ragu-ragu sejenak. "Saya tidak bisa membayangkan yang lain untuk menjadi pasangan Om."

Lagi-lagi Gatra tersenyum tipis. "Cantik itu relatif. Tapi di mata saya dia memang cantik. Dan dia memang baik. Kamu juga cantik Kinara!" Gatra berkata dari hatinya.

Semburat kemerahan menjalar di pipi gadis itu saat Gatra memujinya.

"Saya tidak sedang menggombal atau merayu kamu," ujar Gatra buru-buru, takut gadis itu salah paham. "Kamu sudah punya pacar?"

Gadis itu menggeleng dengan polos.

"Ada teman laki-laki yang sedang kamu suka?"

"Dalam arti?"

Gatra menghela nafas. "Untuk remaja seusia kamu, adalah hal yang biasa tertarik pada teman laki-laki. Ada perasaan ingin selalu bertemu, senang bila berdekatan, ada perasaan rindu. Hal-hal seperti itu."

Gadis itu tampak berpikir. Gatra sedikit tidak percaya gadis seusia Kinara tidak pernah atau belum pernah dekat dengan teman prianya untuk jaman sekarang.

Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang