"Mas! Bagaimana Kinara?" Erina menghampiri suaminya yang sedang mondar mandir gelisah di depan ruang IGD.
Danu mendongak mendengar suara istrinya. Seketika ia merasa lebih tenang ketika wanita itu memeluknya.
"Entahlah Sayang. Mereka masih menanganinya. Aku takut..."
Erina membawa suaminya untuk duduk di sebuah bangku panjang tak jauh dari situ.
"Bagaimana kejadiannya?"
Danu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Entahlah! Aku menyuruhnya menunggu di lobi. Tapi aku terlambat turun karena aku harus kembali lagi untuk mengambil berkas yang tertinggal. Waktu aku membawa mobil sampai depan lobi, dia sudah tidak ada. Aku bertanya pada resepsionis, lalu tiba-tiba ada yang berteriak bahwa ada yang jatuh. Aku segera berlari mendapatinya. Ternyata dia sudah tergeletak, penuh darah. Aku takut Sayang! Apa yang harus kukatakan pada Gatra?"
Erina mengelus-elus punggung suaminya agar lelaki itu lebih tenang. Ia sendiri juga merasa khawatir sejak mendapat kabar itu.
"Bang Gatra ke mana?"
"Dia sedang ada pertemuan dengan klien. Aku sudah mengabarinya."
Gatra tiba bersamaan dengan keluarnya dokter dari ruang tindakan.
"Dokter! Bagaimana dengan istri saya?!"
Wajah muram dokter itu seolah mengatakan semuanya. Ia memberi isyarat pada mereka untuk mengikutinya masuk keruangan lain. Gatra, dan Danu mengikutinya.
"Maaf Tuan, kami tidak bisa menyelamatkan janinnya. Benturan di kepalanya meyebabkan tulang tengkoraknya retak. Ia harus dioperasi. Tapi harapannya kecil sekali. Keadaannya sangat kritis. Kami tidak berani melakukannya. Risikonya terlalu besar. Kami berharap masa kritisnya segera berlalu sehingga dapat segera melakukan operasi."
"Lakukan apa saja Dok! Berapa pun biayanya akan saya bayar. Selamatkan istri saya!"
"Hanya itu yang bisa kami lakukan. Kita hanya bisa menunggu mukjizat dari Tuhan."
Gatra terhenyak. "Tidak mungkin! Pasti ada cara untuk menyelamatkannya. Tolong Dokter! Selamatkan istri saya! Saya mohon!"
Dokter itu hanya bisa menatap Gatra dengan pilu ketika lelaki itu mulai menangis. Danu pun hanya bisa terdiam.
Erina berdiri ketika kedua pria itu kembali. Matanya menyiratkan pertanyaan. Bagaimana? Danu hanya menggeleng.
Kinara dipindahkan ke ruang ICU dengan berbagai alat penunjang kehidupan menempel di tubuhnya. Gatra menungguinya, memandangnya dengan wajah basah oleh air mata. Tangannya menggenggam jari jemari istrinya.
"Maaf! Maaf tidak bisa menjagamu. Bangunlah Sayang! Jangan pergi! Aku belum siap kehilanganmu. Kinara! Bangunlah!"
Ditatapnya kepala yang terbalut perban. Ada beberapa lebam di wajah, tangan dan kaki istrinya. Gatra merasa sakit. Ia kembali menangis.
"Kinara! Bangun Sayang! Jangan terlalu lama tidur. Bangunlah! Aku rindu Sayang! Bangun! Bangun Kinara! Bangun! Aku mencintaimu. Bangun Sayang," tangisnya.
Gatra tidak mau meninggalkan istrinya. Ia hanya beranjak jika harus ke toilet. Orang tuanya segera datang begitu mendapat kabar dan keluarga Kinara tiba larut malam.
Suasana haru penuh kesedihan menyelimuti ketika kedua keluarga yang sudah menjadi satu itu bertemu. Mereka saling bertangisan. Bergantian mereka masuk untuk melihat Kinara.
Gatra bergeming, tak mau meninggalkan istrinya. Ia juga tak mempedulikan mereka yang datang. Dua kali mengalami hal yang hampir serupa membuatnya sangat terpuruk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Fiksi UmumKisah seorang pria yang ingin mengulang waktu untuk memperbaiki semua yang diakibatkan oleh kesalahannya. #cover dan gambar diambil dari Pinterest