Gatra hanya merasakan kekosongan. Suara dokter hanya didengarnya sayup-sayup. Ia tidak lagi mengeluarkan air mata, namun tidak sanggup bergerak sedikit pun.
Elang menuntunnya masuk. Kinara berbaring seperti sedang tidur. Semua peralatan medis sudah dilepaskan dari tubuhnya. Dia terlihat begitu cantik, begitu tenang dan begitu rapuh.
Wajahnya putih dan dingin. Gatra menyentuhnya, membelainya lembut, seringan bulu. Ia mengusap bibir mungil Kinara dengan ibu jarinya, lalu mengusap matanya, alisnya. Lalu tangan besarnya menangkup wajah yang seperti tidur itu. Begitu tenang, begitu dingin.
Mengapa aku harus mengalaminya lagi? Apakah Tuhan pikir aku sekuat itu hingga sanggup menghadapinya dua kali. Dulu seberapa pun sedihnya, aku masih mengingat Elang yang menjadi tanggung jawabku. Aku bertahan hidup meskipun tak sepenuhnya hidup.
Bertemu dia membuatku menemukan jiwaku kembali. Menjadikanku memiliki alasan untuk tersenyum, tertawa dan melangkah maju. Membuatku kembali memilik cita-cita. Membuatku berani untuk bahagia.
Tapi mengapa hanya sebentar? Apakah kesalahanku padanya membuatku tak layak memilikinya lebih lama? Andai waktu bisa diputar, aku tidak akan ke klub malam itu. Aku tidak akan menyakitinya. Dia tidak harus menikahiku karena terpaksa. Masa mudanya tidak akan terenggut.
Andai waktu bisa terulang kembali, aku tidak akan menyetujui pertunangan hanya karena kasihan, sehingga tidak akan ada hati yang terluka karena ditinggalkan. Tidak ada hati yang dendam dan mencari kambing hitam. Dan tidak ada luka yang tak tersembuhkan.
Andai ada kesempatan kedua, aku akan mencintai Kinara dengan benar. Mendekatinya sebagai pria baik-baik dengan cara yang baik.
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak tahu caranya hidup tanpa dirinya. Aku masih ingin melihat senyumnya, tawanya, masih ingin memeluknya. Ya Tuhan, beri aku kesempatan itu! Aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Aku tidak akan mengorbankan hati dua gadis remaja.
♡♡♡
Apa yang terjadi selanjutnya, tidak diketahui oleh Gatra. Pria itu masuk semakin dalam ke dunianya sendiri. Urusan pemakaman diatur oleh Elang dan Danu dibantu Jacko.
Pertiwi dan Amora sama terpukulnya, namun mereka masih bisa saling menguatkan. Apalagi dengan kehamilan Amora, mereka tidak mau mengambil risiko bila terjadi sesuatu pada janinnya.
Pemakaman berjalan lancar. Gatra sangat tenang, namun juga sangat terasing. Ia ada di sana, namun hati dan pikirannya entah ke mana. Ucapan bela sungkawa diterimanya dengan wajah datar tanpa mengucapkan apa-apa.
Hari ke delapan kepergian Kinara. Pertiwi, Amora dan Elang bersiap kembali ke kota mereka. Tadi malam peringatan tujuh hari berpulangnya Kinara sudah dilangsungkan.
Meskipun sedih dan tak tega, Elang berpamitan kepada Gatra. Ia masih ingin menemani pria itu, namun istrinya yang sedang hamil lebih membutuhkannya.
"Om, aku pamit ya! Aku akan pulang bersama mama dan Amora. Aku akan sering-sering menengok Om. Om harus semangat. Om jangan sedih terus. Empat bulan lagi cucu Om akan lahir. Om nggak mau gendong? Om harus sehat terus supaya bisa ketemu cucu Om nanti," ujar Elang.
Sejurus tidak ada jawaban dari Gatra. Pandangan mata pria itu kosong.
"Kamu harus menjaga istrimu baik-baik. Jaga keluargamu dengan benar. Maaf kalau seandainya Om tidak bisa melihat anakmu lahir...."
"Om mau ke mana?"
"Entahlah. Apa kamu tahu Kinara ada di mana? Om ingin ke sana..."
"Om...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
General FictionKisah seorang pria yang ingin mengulang waktu untuk memperbaiki semua yang diakibatkan oleh kesalahannya. #cover dan gambar diambil dari Pinterest