Sepulang dari rumah Astuti, pikiran Gatra semakin kacau. Mereka tadi berhasil menginterogasi Sonya. Gadis itu mengatakan bahwa mereka dibawa ke sebuah rumah besar dan disuguhi makan. Setelah itu Sonya disuruh pulang dan Kinara tinggal. Menurut gadis itu, orang yang membawa mereka berjanji akan mengantarkan Kinara pulang setelah urusan mereka selesai.
"Lalu mengapa kamu harus berbohong?" tanya Gatra dengan nada sedih. Menurutnya anak muda yang tidak jujur adalah aset gagal yang menyedihkan.
"Saya diancam akan dilaporkan ke polisi karena sudah membawa laptop Kinara," jawab gadis itu sembari menunduk.
"Jadi kamu tidak tahu kalau Kinara tidak pulang malam itu bahkan sampai hari ini?" selidik Danu. "Hari-hari berikutnya dia tidak masuk. Kamu tidak curiga?"
"Saya...saya pikir dia mudik," sahut Sonya dengan suara bergetar karena ketakutan. Ia berlutut dan mencengkeram lutut Gatra "Saya benar-benar nggak tahu soal penculikan Om. Om itu bilang akan mengantar Kinara. Dia cuma mau bicara sebentar sama Kinara. Soal laptop, niat saya hanya pinjam dan akan saya kembalikan Om. Tapi Kinara tidak masuk, lalu saya mengakui laptop itu punya saya. Saya tidak berniat bikin Kinara celaka Om."
Gatra memejamkan matanya. Ia menyingkirkan tangan yang mencengkeram lututnya. Rahangnya mengetat.
"Kamu tidak seharusnya berbohong Sonya!" kecam Gatra. "Kalau kamu jujur sejak awal, Kinara mungkin sudah bisa kita temukan. Bayangkan bagaimana kalau ini terjadi padamu? Bagaimana perasaan mamamu? Kamu masih punya papa meskipun sudah berpisah dengan mamamu. Tapi Kinara tidak punya. Bayangkan perasaan mama Kinara menghadapi ini sendirian."
Gatra menghela nafas panjang mengingat kejadian di rumah Astuti tadi siang. Ia berusaha menahan kemarahannya kuat-kuat, tidak ingin melampiaskannya kepada dua orang perempuan seperti seorang pengecut.
"Mas Gatra tidak akan melaporkan Sonya ke polisi kan? Dia masih muda Mas! Dia belum dewasa. Tolong! Demi hubungan keluarga kita, jangan penjarakan Sonya. Dia belum bisa berpikir panjang," ujar Astuti sambil menangis, menahan Gatra yang akan pergi.
"Buat saya yang penting sekarang adalah menemukan Kinara. Sonya akan saya urus nanti bersama pengacara saya," sahutnya datar.
Astuti terisak. Sebenarnya Gatra merasa kasihan, namun hatinya juga diliputi kemarahan. Ia mengetatkan kepalan tangannya agar tak sampai melempar perempuan itu dan menghempaskannya ke lantai. Sesuatu yang sangat ingin dilakukannya.
Kesadarannya kembali ketika ponselnya berdering. Sebuah panggilan video dari Yosa. Gatra berusaha menetralkan raut penuh kemarahan di wajahnya. Ia tidak ingin lawannya semakin memancing emosinya sehingga membuatnya semakin tak terkontrol.
Ia mengatur nafasnya, barulah menggeser tombol terima pada ponselnya. Yang tampak pertama kali di layarnya adalah wajah lebar Yosa yang menyeringai licik.
"Halo sobat!" sapa Yosa sok akrab. "Sudah dipikir baik-baik tawaranku? Atau kamu butuh sesuatu yang bisa membuatmu lebih cepat membuat keputusan?"
Lalu layar ponsel itu berganti menampilkan pemandangan yang menyayat bagi Gatra. Layar itu menampakkan Kinara yang duduk di kursi dengan tangan dan kaki terikat. Mulutnya juga diikat dengan sapu tangan. Matanya menyiratkan riak ketakutan, namun sekaligus tekat yang besar.
"Apa yang kamu lakukan Yosa?! Dia tidak ada hubungannya dengan kita!" seru Gatra dengan marah.
"Tidak ada?" Yosa tertawa culas. "Kalau begitu kamu tidak akan terpengaruh melihatnya terikat seperti itu bukan?"
Gatra mengeluarkan sumpah serapahnya. Ibunya akan mati berdiri jika mendengarnya. Itu semua adalah kata-kata yang belum pernah diucapkannya seumur hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
General FictionKisah seorang pria yang ingin mengulang waktu untuk memperbaiki semua yang diakibatkan oleh kesalahannya. #cover dan gambar diambil dari Pinterest